Gelombang kekecewaan dan tanda tanya besar kembali menyelimuti publik setelah Mahkamah Agung (MA) memutuskan untuk memangkas hukuman pidana terhadap terpidana kasus korupsi KTP elektronik, Setya Novanto. Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini bukan hanya sekadar berita hukum biasa, melainkan memicu perdebatan sengit tentang ketegasan negara dalam memberantas korupsi. Pertanyaan utama yang muncul adalah: apakah ini pertanda hukuman bagi koruptor semakin enteng di mata hukum? Keraguan ini langsung disuarakan dengan lantang oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, Johanis Tanak, yang secara tegas menuntut hukuman berat bagi koruptor demi efek jera yang nyata.
Reduksi Vonis yang Mengusik Rasa Keadilan
Informasi yang berhasil dikonfirmasi Kompas.com pada Rabu (2/7/2025) menyebutkan bahwa MA telah mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh Setya Novanto. Mantan orang nomor satu di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI ini sebelumnya telah dijatuhi vonis 15 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada tahun 2018 atas keterlibatannya dalam skandal mega korupsi pengadaan KTP elektronik. Vonis tersebut kemudian diperkuat di tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan bahkan di tingkat kasasi oleh MA, menunjukkan konsistensi putusan di tiga tingkatan peradilan sebelumnya.
Meski detail resmi mengenai berapa tahun pasti pengurangan hukuman Novanto belum diumumkan secara transparan oleh MA, keputusan PK ini secara otomatis akan memangkas durasi masa pidana yang harus dijalani. Kasus KTP-el, yang telah merugikan keuangan negara hingga triliunan rupiah, merupakan salah satu skandal korupsi terbesar di Indonesia. Oleh karena itu, setiap putusan terkait kasus ini selalu menjadi perhatian utama masyarakat yang mendambakan keadilan. Keringanan hukuman di tingkat PK ini, terutama untuk kasus sekelas korupsi KTP-el, dikhawatirkan dapat menciptakan preseden buruk dan mengurangi kepercayaan publik terhadap keseriusan penegakan hukum di Indonesia.
Johanis Tanak: “Koruptor Selayaknya Dihukum Berat” – Jaminan Efek Jera
Menyikapi putusan MA tersebut, Johanis Tanak, yang selama menjabat di KPK dikenal memiliki pandangan tegas terhadap korupsi, tidak bisa menutupi kekhawatirannya. Ia secara gamblang menegaskan kembali prinsip fundamental dalam upaya memberantas kejahatan luar biasa ini: para pelaku kejahatan korupsi harusnya menerima sanksi yang paling berat. Baginya, efek jera adalah kunci utama untuk mencegah terulangnya korupsi, dan efek jera ini hanya bisa dicapai melalui penegakan hukum yang tegas, tanpa ada ruang kompromi apalagi keringanan.
Baca Juga : Kisah Perjalanan Adolf Hitler: Dari Seniman Gagal Menuju Diktator Terkejam
“Koruptor selayaknya dihukum berat,” demikian pernyataan lugas Johanis Tanak saat dikonfirmasi Kompas.com, Rabu (2/7/2025). Ia menjelaskan bahwa filosofi di balik penjatuhan pidana bagi koruptor tidak hanya sebatas pembalasan atas kerugian yang ditimbulkan, tetapi juga berfungsi ganda sebagai pencegah umum (general deterrence) bagi masyarakat luas dan pencegah khusus (special deterrence) bagi pelaku itu sendiri agar tidak mengulangi perbuatannya.
Tanak berpendapat bahwa putusan yang meringankan hukuman bagi koruptor kelas kakap seperti Setya Novanto berpotensi mengirimkan sinyal yang sangat keliru kepada publik dan terutama kepada para calon koruptor. Hal ini bisa menciptakan ilusi bahwa meskipun tertangkap dan diadili, selalu ada celah untuk mendapatkan keringanan hukuman di kemudian hari. Padahal, untuk kejahatan yang menggerogoti sendi-sendi negara seperti korupsi, konsistensi dan ketegasan hukum adalah mutlak.
Menjaga Kepercayaan Publik dan Spirit Pemberantasan Korupsi
Perjalanan kasus Setya Novanto di meja hijau memang telah menjadi saga tersendiri, yang penuh dengan drama dan intrik politik. Mulai dari upaya menghindar dari panggilan pemeriksaan KPK, insiden “tiang listrik” yang sempat viral, hingga akhirnya vonis bersalah, kasus ini telah menyita perhatian dan emosi publik selama bertahun-tahun. Penanganan kasusnya selalu menjadi tolok ukur bagi masyarakat untuk menilai seberapa serius komitmen negara dalam melawan korupsi.
Keringanan hukuman yang kini diberikan oleh MA di tingkat PK, menurut banyak pengamat hukum dan pegiat antikorupsi, berisiko mengikis kembali kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Masyarakat berharap keadilan ditegakkan seadil-adilnya, tanpa pandang bulu, terutama bagi mereka yang terbukti memperkaya diri dari uang rakyat. Putusan ini diharapkan tidak menjadi preseden yang melemahkan upaya pemberantasan korupsi di masa mendatang. Sebaliknya, ini harus menjadi momentum refleksi mendalam bagi seluruh komponen sistem peradilan untuk memastikan bahwa semangat efek jera tidak pernah luntur dan bahwa prinsip keadilan serta akuntabilitas benar-benar terwujud dalam setiap putusan kasus korupsi. Keberanian dan konsistensi dalam menghukum berat koruptor adalah pondasi penting untuk membangun Indonesia yang bersih dari praktik-praktik tercela ini.