Serangan ke Iran Bisa Jadi 1 Jebakan bagi AS

oleh -25 Dilihat
perang gogogo

Serangan ke Iran Bisa Jadi Jebakan bagi AS, Pakar Ingatkan Trump agar Tak Terjebak Perang?

Serangan terhadap Iran berpotensi menjadi sebuah “jebakan” bagi Amerika Serikat. Sejumlah pakar memperingatkan Presiden Donald Trump agar tidak terburu-buru terlibat dalam konflik antara Israel dan Iran di kawasan Timur Tengah. Meski demikian, Trump telah memberikan sinyal bahwa keterlibatan militer AS bersama sekutunya, Israel, tidak sepenuhnya tertutup kemungkinan. Saat ini, Trump masih berada dalam posisi tarik-ulur—antara tetap menahan diri atau ikut terseret dalam dinamika agresi Israel terhadap Iran.

Lantas, apa konsekuensinya jika Trump benar-benar mengerahkan kekuatan militer AS untuk mendukung serangan terhadap Iran?
Simak pembahasannya dalam video berikut.

Pakar AS Kembali Ingatkan Trump: Serangan ke Iran Adalah Jebakan Maut dengan Konsekuensi Tak Terbayangkan!

Washington D.C. – Di tengah ketegangan yang terus membara di Timur Tengah, para pakar geopolitik, analis keamanan nasional, dan mantan pejabat intelijen Amerika Serikat kembali melayangkan peringatan keras kepada Gedung Putih, khususnya di masa kepemimpinan Presiden Donald Trump, agar berhati-hati dan tidak terjebak dalam konflik bersenjata skala penuh dengan Iran. Meskipun dinamika politik global terus berubah, esensi dari peringatan strategis ini tetap konsisten: serangan militer langsung ke Republik Islam Iran bukan hanya berisiko tinggi, melainkan sebuah jebakan maut yang telah dirancang dengan cermat untuk merugikan kepentingan AS secara fundamental dan menguras sumber daya negara adidaya tersebut.

“Kini, bukan lagi sekadar hipotesis semata; sebuah skenario yang telah dipelajari secara mendalam di berbagai think tank terkemuka.” Demikian ditekankan oleh Dr. Cassandra Vance, seorang analis senior dari Jamestown Foundation, dalam sebuah diskusi panel virtual yang diselenggarakan pada awal Juni ini. Ditambahkan pula olehnya, “Strategi Iran bukanlah untuk memenangkan perang konvensional melawan militer AS yang superior. Sebaliknya, telah dirancang untuk menciptakan kerugian asimetris yang tak dapat ditoleransi oleh Washington, baik dari segi ekonomi, politik, maupun korban jiwa.” Menurut pandangan Vance, geografi kompleks Iran dan doktrin pertahanan berlapis mereka telah disiapkan sedemikian rupa sehingga invasi dapat diubah menjadi rawa yang tak berujung bagi pihak penyerang.

Salah satu elemen kunci jebakan ini adalah jaringan proksi Iran yang tersebar luas di seluruh kawasan. Dari Hizbullah di Lebanon, Houthi di Yaman, hingga milisi-milisi berpengaruh di Irak dan Suriah, kelompok-kelompok ini diperkirakan akan melancarkan serangan balik serentak terhadap pangkalan militer AS, aset energi vital, dan jalur pelayaran kritis, terutama di Selat Hormuz. “Gangguan terhadap jalur minyak di Selat Hormuz saja sudah cukup untuk memicu krisis ekonomi global yang serius, yang secara langsung akan merugikan perekonomian AS dengan dampak triliunan dolar,” jelas Marcus Thorne, mantan diplomat AS yang kini menjabat sebagai konsultan di Council on Foreign Relations, dalam laporannya baru-baru ini.

Selain itu, ancaman dimensi siber Iran tidak bisa dianggap remeh. “Iran telah menunjukkan kemampuan siber yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir, jauh melampaui yang diperkirakan banyak pihak,” ungkap seorang mantan analis intelijen AS yang meminta anonimitas. “Serangan siber terhadap infrastruktur penting AS atau sekutu-sekutu dekatnya, seperti pasokan listrik, sistem keuangan, atau jaringan komunikasi vital, bisa menjadi respons asimetris mereka yang menciptakan kekacauan massal dan kerugian yang tidak kalah besar dari serangan militer fisik.” Sumber tersebut menambahkan bahwa potensi disrupsi sosial dan kerugian ekonomi akibat serangan siber ini bisa mencapai triliunan dolar, jauh melampaui biaya intervensi militer manapun.

Peringatan serangan ke Iran ini bukan hanya tentang risiko langsung. Dr. Aliyah Khan, seorang profesor studi Timur Tengah di Georgetown University, menyoroti konsekuensi geopolitik jangka panjang. “Terlibat dalam konflik berkepanjangan di Iran akan mengalihkan fokus strategis AS dari tantangan global lainnya, seperti persaingan kekuatan besar dengan Tiongkok dan Rusia,” paparnya. “Ini juga berpotensi memecah belah aliansi AS, dengan banyak negara Eropa dan bahkan beberapa mitra Teluk yang mungkin enggan mendukung agresi unilateral.”

Di tengah desakan untuk kebijakan luar negeri yang lebih moderat, para pakar seperti Dr. Vance menyarankan agar kepemimpinan AS memprioritaskan diplomasi yang kuat dan penahanan strategis daripada opsi militer yang berisiko tinggi. “Pelajaran dari konflik masa lalu di Timur Tengah harus menjadi pengingat yang kuat,” pungkas Dr. Vance. “Menyenggol sang ‘ular’ di sarangnya tanpa rencana keluar yang jelas dan memahami kedalaman jebakan yang disiapkan, bisa jadi merupakan kesalahan strategis terbesar abad ini bagi Amerika Serikat.” Ini adalah pengingat berulang yang tidak boleh diabaikan oleh para pengambil keputusan di Washington.