Cucu Keracunan MBG di Jogja, Mahfud MD Desak Tata Kelola Program Diganti Total

oleh
MBG

Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (), Mahfud MD. Mengungkapkan pengakuan mengejutkan yang menambah daftar panjang kasus keracunan massal dalam Program Makan Bergizi Gratis (). Secara pribadi, Mahfud menegaskan bahwa dua cucu keponakannya turut menjadi korban keracunan makanan yang mereka santap di sekolah mereka di Yogyakarta. Salah satu cucunya bahkan harus menjalani perawatan intensif hingga empat hari di rumah sakit.

Anggota keluarganya mengalami pengalaman pahit, dan ini mendasari desakan kuat Mahfud agar pemerintah memperbaiki total tata kelola program dan menolak klaim yang mereduksi keracunan sebagai angka statistik kecil.

Kronologi Kejadian: Delapan Siswa Muntah Serentak

Mahfud MD menyampaikan kisah ini melalui saluran YouTube resminya, yang berjudul “Bereskan Tata Kelola .” Ia menyebut bahwa dua korban adalah cucu dari keponakannya, yaitu Ihsan dan kakaknya, yang bersekolah di tempat yang sama di Yogyakarta.

“Cucu saya juga keracunan di Jogja. Cucu ponakan, jadi saya punya keponakan, keponakan saya punya anak namanya Ihsan,” kata Mahfud.

Menurut Mahfud, insiden keracunan itu terjadi setelah mereka menyantap menu makan siang dari program . Seketika itu, sekitar delapan siswa dalam satu kelas yang sama, termasuk Ihsan, langsung muntah-muntah secara serentak.

Kondisi kedua cucu tersebut berbeda. Kakak Ihsan, yang berada di kelas berbeda, mengalami muntah-muntah, tetapi dokter hanya perlu merawatnya sehari dan mengizinkannya pulang untuk rawat jalan. Namun, adiknya, Ihsan, harus menjalani perawatan yang jauh lebih lama.

“Yang ini (Ihsan) sampai empat hari di rumah sakit. Ada dua, bersaudara, beda kelas, di sekolah yang sama. Mahfud mengungkapkan, staf rumah sakit masih merawatnya (cucunya) di rumah sakit hingga kemarin, saat ia masih berada di Jogja. Pengalaman pribadi ini memberikan perspektif yang berbeda tentang urgensi masalah tersebut.

Kritik Menohok: Ini Bukan Persoalan Angka

Pengungkapan Mahfud ini secara eksplisit menanggapi klaim Presiden Prabowo Subianto yang sebelumnya menyebut bahwa kasus keracunan hanya sekitar 0,00017 persen dari total 30 juta porsi makanan yang telah mereka salurkan. Mahfud dengan tegas menolak perbandingan tersebut dan menekankan bahwa publik tidak bisa menyikapi kasus keracunan sebagai statistik semata.

“Ini bukan persoalan angka,” tegas Mahfud. “Itu menyangkut nyawa, menyangkut kesehatan. Pemerintah harus meneliti lagi masalahnya (atau: apa masalahnya).”

Mahfud lantas membandingkan kasus keracunan dengan kecelakaan pesawat. Ia mencontohkan, meskipun kecelakaan pesawat terjadi sangat jarang, bahkan tidak sampai 0,1 persen, setiap insiden selalu menimbulkan kegelisahan dan keributan publik karena melibatkan nyawa manusia. Logika yang sama, kata Mahfud, berlaku pada program ; satu korban jiwa atau kasus keracunan sudah terlalu banyak.

Tata Kelola Program Mendesak Diperbaiki

Meski menyatakan program adalah program yang “bagus dan mulia” karena mengatasi masalah gizi jutaan anak di Indonesia, Mahfud melihat bahwa implementasi di lapangan memiliki kelemahan struktural yang parah.

Mahfud menilai, salah satu masalah utama adalah ketiadaan dasar hukum yang jelas untuk pelaksanaannya, seperti Peraturan Pemerintah () atau Peraturan Presiden (). Kepastian hukum sangat penting agar semua pihak dapat memprediksi parameter dan tanggung jawab mereka.

“Perlu diperbaiki tata kelolanya. Ini kan tidak jelas ya. Sangat perlu mendesak diperbaiki,” seru Mahfud.

Ketiadaan tata kelola yang rapi menyebabkan kebingungan di tingkat daerah. Mahfud menyoroti bahwa Penyelenggara Program tidak melibatkan Pemerintah Daerah () sejak awal. Tetapi Pemda juga yang turun tangan dan menanggung masalah saat keracunan terjadi.

“Begitu ada masalah, keracunan, mereka (Pemda) yang turun,” ujarnya. Mahfud bahkan mencontohkan, di satu sekolah, Panitia Pelaksana justru memaksa guru—yang tidak digaji dan bukan panitia—untuk membersihkan wadah makanan dan bahkan mengganti alat makan yang hilang.

Baca Juga : Sanksi Setengah Hati UEFA: Israel Dilarang di Eropa, Tapi Aman di Kualifikasi Piala Dunia 2026

Kasus keracunan yang menimpa cucunya di Yogyakarta ini membuktikan bahwa masalah keamanan pangan dalam program adalah isu serius. Pemerintah harus segera mengatasi masalah tersebut dengan perombakan total pada sistem, alih-alih menyelesaikan masalah hanya dengan statistik pembanding. Masyarakat dan lembaga pengawas terus mendesak agar Badan Gizi Nasional (). Dan pihak terkait segera mengevaluasi Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi () dan menerapkan standar higienitas yang ketat demi menjamin kesehatan dan keselamatan anak-anak.