,

Para Ekonomi Blak-blakan Soal Jurang antara Data dan Realita

oleh
ekonomi

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,12% pada kuartal II 2025. Angka ini naik signifikan dibanding kuartal sebelumnya dan melampaui proyeksi pasar. Seharusnya kabar ini menggembirakan, tetapi sejumlah ekonom menyoroti ketidaksesuaian antara data makro dan realitas di lapangan. Mereka menilai pertumbuhan ini lebih mencerminkan ketimpangan ekonomi daripada kesejahteraan merata.

Kontradiksi di Sektor Pendorong Utama

BPS menyebut konsumsi rumah tangga dan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) sebagai motor pertumbuhan utama. Namun, analis menemukan beberapa kejanggalan.

Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif CELIOS, menekankan bahwa konsumsi tinggi tidak otomatis menandakan daya beli masyarakat membaik. “Indeks Keyakinan Konsumen turun, terutama di kalangan masyarakat menengah ke bawah. Konsumsi tinggi lebih banyak berasal dari belanja kelas atas dan bantuan sosial bersifat musiman, bukan karena daya beli fundamental,” jelas Bhima. Ia menambahkan, banyak pedagang kecil dan sektor ritel melaporkan penurunan omzet.

Pertumbuhan investasi (PMTB) juga menimbulkan tanda tanya. Sektor manufaktur tetap lesu, dan banyak perusahaan menahan ekspansi. “Biasanya investor memperluas kapasitas karena permintaan meningkat. Jika permintaan riil lemah, pemerintah dan sektor non-produktif kemungkinan mendorong sebagian besar investasi besar,” tambah Bhima.

Baca Juga : Mulai 1 Agustus, Pajak Kripto di RI Naik Dua Kali Lipat!

Tantangan Eksternal dan Risiko Global

Dibanding negara tetangga ASEAN, pertumbuhan 5,12% termasuk tinggi. Namun, Rully Permana dari Tani Foundation mengingatkan perlunya hati-hati. “Ekonomi kita sangat bergantung pada pasar domestik. Ketika ekonomi global melemah, kita rentan karena kontribusi ekspor belum optimal,” ujarnya.

Harga komoditas yang turun dan melemahnya permintaan global membuat surplus neraca perdagangan Indonesia menyusut. Ketergantungan pada konsumsi domestik menimbulkan risiko jika kondisi global memburuk. Penurunan lapangan kerja akan menekan konsumsi dan memperlambat pertumbuhan.

Arah Kebijakan: Memperkuat Kesejahteraan Rakyat

Pemerintah menekankan bahwa kebijakan pro-investasi dan belanja infrastruktur masif menjadi kunci pertumbuhan. Namun, para ekonom mendorong pemerintah meninjau prioritasnya. “Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan harus berdasar fondasi kuat, bukan sekadar angka di atas kertas,” tegas Rully.

Beberapa rekomendasi kebijakan meliputi:

  • Penguatan daya beli: Stabilkan harga kebutuhan pokok dan tingkatkan upah riil, jangan hanya mengandalkan bantuan sosial sementara.

  • Revitalisasi manufaktur: Berikan insentif bagi industri padat karya, permudah izin usaha, dan turunkan biaya produksi agar sektor ini kembali menjadi motor ekonomi.

  • Diversifikasi ekspor: Dorong hilirisasi dan produksi barang bernilai tambah tinggi, sehingga Indonesia tidak hanya mengekspor bahan mentah.

Kesimpulan

Pertumbuhan 5,12% patut diapresiasi, tetapi kritik para ekonom menjadi pengingat penting. Pertumbuhan sejati tergantung pada kesejahteraan merata, lapangan kerja yang tersedia, dan daya beli masyarakat. Pemerintah menghadapi tantangan terbesar: mengubah angka manis menjadi realitas yang seluruh rakyat Indonesia bisa rasakan.

No More Posts Available.

No more pages to load.