NusaSuara — Anggota Komisi I DPR RI, Endipat Wijaya, memberikan kritik tajam terhadap pihak-pihak yang hanya sekali mendatangi wilayah bencana. Mereka kemudian merasa paling berjasa dalam penanganan banjir dan longsor di Sumatra. Ia menilai narasi tersebut tidak sejalan dengan fakta di lapangan. Terutama karena pemerintah sudah hadir sejak fase awal krisis.
Untuk memperjelas, Endipat mencontohkan bagaimana terdapat individu atau kelompok yang baru membangun satu posko namun langsung menyebarkan narasi bahwa pemerintah tidak melakukan apa-apa. Menurutnya, klaim seperti itu justru mengabaikan kerja besar negara. Negara telah mendirikan ratusan posko di wilayah terdampak.
Bantuan Pemerintah Bernilai Triliunan, Bukan Sekadar Puluhan Miliar
Lebih jauh, dalam Rapat Kerja Komisi I bersama Menkomdigi Meutya Hafid di Senayan, Endipat Wijaya menegaskan bahwa kontribusi pemerintah tidak bisa di bandingkan dengan donasi individual sebesar Rp10 miliar. Menurutnya, nilai bantuan negara sudah mencapai triliunan rupiah. Ini mencakup logistik, penanganan darurat, rehabilitasi, hingga pembangunan kembali infrastruktur.
Sebagai bentuk klarifikasi, ia menekankan bahwa angka triliunan tersebut membuktikan adanya kehadiran negara secara berkelanjutan. Karena itu, ia merasa penting untuk meluruskan narasi publik agar masyarakat tidak salah menilai kinerja pemerintah.
Dorongan agar Komdigi Mengamplifikasi Informasi Kinerja Pemerintah
Karena aliran informasi yang kurang masif sering menimbulkan kesalahpahaman, Endipat Wijaya mendorong Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk mengambil peran lebih aktif dalam menyebarluaskan informasi strategis. Menurutnya, publik berhak mengetahui sejauh mana pemerintah bekerja. Mereka juga berhak mengetahui apa saja upaya konkret yang sudah di lakukan di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara.
Ia menilai bahwa apabila informasi di sampaikan lebih terstruktur dan berkelanjutan, maka masyarakat dapat melihat gambaran yang utuh mengenai langkah-langkah penanggulangan bencana. Dengan demikian, narasi yang seolah-olah menyudutkan pemerintah bisa di minimalkan.
Contoh Minimnya Publikasi: Reboisasi Besar-Besaran Kementerian Kehutanan
Lebih lanjut, Endipat Wijaya mengangkat contoh lain untuk menunjukkan betapa kurangnya amplifikasi informasi pemerintah. Ia menyebut program reboisasi skala besar yang telah dilakukan Kementerian Kehutanan. Program tersebut, menurut Endipat, sebenarnya berjalan intensif, namun tidak banyak di ketahui publik karena kurangnya pemberitaan.
Kondisi ini membuat Kementerian Kehutanan terus menjadi sasaran kritik, meskipun mereka telah melakukan banyak upaya rehabilitasi lingkungan. Endipat menilai hal ini terjadi bukan karena pemerintah tidak bekerja, tetapi karena informasi tidak tersampaikan secara optimal.
Baca Juga: Pasir Kuarsa: Reformasi Penanganan Tambang Ilegal
Peran Kepolisian dalam Penanganan Hutan yang Juga Kurang Terdengar
Selain Kementerian Kehutanan, Endipat Wijaya juga menyoroti upaya aparat kepolisian yang sudah bergerak sejak awal untuk memperbaiki kondisi hutan di Sumatra. Meski demikian, kontribusi tersebut jarang terdengar secara masif di ruang publik. Akibatnya, publik sering kali hanya mendengar narasi negatif yang lebih cepat viral.
Menurutnya, kurangnya penyebaran informasi ini harus menjadi perhatian Komdigi agar ke depan tidak terjadi ketimpangan narasi. Saat ini, pihak yang hanya sebentar turun ke lapangan terlihat lebih dominan dalam pemberitaan di bandingkan pihak yang sebenarnya bekerja secara konsisten.
Harapan agar Informasi Pemerintah Bisa Mengimbangi Narasi Viral
Menutup pernyataannya, Endipat Wijaya menegaskan perlunya strategi komunikasi yang lebih modern, responsif, dan adaptif. Ia berharap Komdigi dapat memahami isu-isu sensitif nasional dan mengelola informasi tersebut agar lebih mudah di akses serta lebih viral di media sosial.
Dengan pengelolaan informasi yang lebih kuat, Endipat yakin publik dapat menilai secara objektif. Publik dapat menilai siapa yang benar-benar bekerja. Mereka juga bisa melihat bagaimana negara hadir sejak awal dalam menangani bencana di seluruh wilayah Sumatra.





