, ,

IHSG Terjepit Tarik Ulur Tarif Trump dan Penurunan Suku Bunga BI

oleh -5 Dilihat
IHSG Terjepit Tarik Ulur Tarif Trump dan Penurunan Suku Bunga BI

NUSASUARA  – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), barometer utama pasar modal Indonesia, saat ini berada dalam periode penuh ketidakpastian. Dua kekuatan besar, yakni kebijakan tarif yang digulirkan oleh pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan manuver kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) melalui penurunan suku bunga, saling tarik ulur memengaruhi arah pergerakan IHSG. Investor domestik dan asing dihadapkan pada dilema strategis: memanfaatkan peluang dari stimulus moneter atau bersiap menghadapi gejolak akibat proteksionisme perdagangan global.

Sejak kembali menjabat pada Januari 2025, Presiden Donald Trump kembali menekankan agenda “America First” yang salah satunya tercermin dalam retorika dan implementasi kebijakan tarif. Meskipun detail dan target spesifiknya dapat berubah, ancaman tarif baru atau peningkatan tarif yang sudah ada terhadap barang-barang dari negara mitra dagang utama AS, termasuk Tiongkok, Eropa, dan bahkan beberapa negara Asia, selalu menjadi bayangan. Kebijakan ini, yang bertujuan untuk melindungi industri domestik AS dan mengurangi defisit perdagangan, berpotensi memicu balasan dari negara-negara yang terkena dampak, mengarah pada perang dagang yang lebih luas.

Bagi Indonesia, implikasi dari tarik ulur tarif Trump sangatlah kompleks. Pertama, perlambatan ekonomi global akibat perang dagang akan menekan permintaan ekspor komoditas dan produk manufaktur Indonesia. Harga komoditas, yang menjadi tulang punggung ekspor Indonesia, rentan terhadap sentimen negatif di pasar global. Jika pertumbuhan ekonomi Tiongkok, sebagai mitra dagang terbesar Indonesia, melambat signifikan akibat tarif AS, dampaknya akan langsung terasa pada kinerja ekspor dan neraca perdagangan Indonesia.

Kedua, volatilitas pasar keuangan global cenderung meningkat di tengah ketidakpastian perdagangan. Arus modal asing (capital outflow) dapat terjadi jika investor menarik dananya dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk mencari aset yang lebih aman atau kembali ke AS. Hal ini dapat menekan nilai tukar Rupiah dan menciptakan tekanan pada harga saham. Sektor-sektor yang memiliki ketergantungan tinggi pada perdagangan internasional, seperti manufaktur, pertambangan, dan bahkan perbankan yang eksposurnya terhadap sektor-sektor tersebut, akan menjadi yang paling rentan.

Baca Juga : Deal! Trump Umumkan Tarif Impor RI 19%, Turun dari 32%

Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) terus berupaya menjaga stabilitas ekonomi dan mendorong pertumbuhan melalui kebijakan moneter yang akomodatif. Dalam beberapa waktu terakhir, BI telah mengambil langkah berani dengan menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) sebagai respons terhadap perlambatan ekonomi global dan inflasi yang terkendali. Keputusan ini, yang diharapkan dapat merangsang konsumsi dan investasi domestik, menjadi pendorong positif bagi IHSG.

Penurunan suku bunga BI memiliki beberapa implikasi positif bagi pasar modal. Pertama, biaya pinjaman bagi perusahaan menjadi lebih rendah, yang dapat mendorong ekspansi bisnis dan meningkatkan profitabilitas. Hal ini, pada gilirannya, dapat meningkatkan pendapatan per saham (EPS) dan valuasi perusahaan. Kedua, suku bunga deposito yang lebih rendah dapat mengalihkan dana investor dari instrumen berbasis bunga ke instrumen berisiko tinggi seperti saham, mencari imbal hasil yang lebih menarik. Ketiga, sektor properti dan otomotif cenderung diuntungkan dari suku bunga yang lebih rendah, yang dapat memicu pembelian barang-barang tahan lama dan memacu pertumbuhan di sektor-sektor terkait.

Namun, efektivitas penurunan suku bunga BI juga memiliki batasan. Jika sentimen negatif dari perang dagang global terlalu kuat, stimulus moneter domestik mungkin tidak cukup untuk mengimbangi tekanan eksternal. Investor akan tetap berhati-hati, dan likuiditas yang melimpah akibat suku bunga rendah bisa saja tidak tersalurkan secara optimal ke sektor riil jika prospek ekonomi jangka panjang masih dibayangi ketidakpastian global.

Menyikapi dua kekuatan yang saling bertolak belakang ini, nasib IHSG akan sangat bergantung pada keseimbangan antara dampak negatif dari perang dagang Trump dan efek positif dari pelonggaran moneter BI. Investor perlu mencermati beberapa faktor kunci:

  • Perkembangan Negosiasi Dagang: Setiap sinyal positif atau negatif dari negosiasi dagang AS dengan mitra utamanya akan langsung memengaruhi sentimen pasar.
  • Data Ekonomi Global dan Domestik: Angka-angka pertumbuhan PDB, inflasi, neraca perdagangan, dan PMI (Purchasing Managers’ Index) baik dari AS, Tiongkok, maupun Indonesia akan memberikan gambaran tentang kondisi fundamental ekonomi.
  • Kebijakan Lanjutan BI: Apakah BI akan melanjutkan siklus penurunan suku bunga, atau menahan diri tergantung pada perkembangan inflasi dan stabilitas nilai tukar.
  • Kinerja Korporasi: Laporan keuangan perusahaan akan menunjukkan seberapa tangguh sektor-sektor tertentu dalam menghadapi gejolak ekonomi.

Secara keseluruhan, IHSG diperkirakan akan menghadapi volatilitas tinggi di tengah ketidakpastian yang berkelanjutan. Investor disarankan untuk menerapkan strategi diversifikasi portofolio, memilih saham-saham dengan fundamental kuat dan eksposur yang lebih rendah terhadap gejolak eksternal. Sektor-sektor yang berorientasi domestik, seperti konsumsi dan telekomunikasi, mungkin relatif lebih resilient dibandingkan sektor-sektor yang sangat tergantung pada ekspor.

Dalam jangka pendek, pasar mungkin akan bergerak sideways dengan kecenderungan fluktuasi tajam. Namun, dalam jangka panjang, kemampuan Indonesia untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan daya tarik fundamental pasar domestik akan menjadi penentu utama. Pertanyaan besarnya adalah apakah stimulus dari BI mampu menahan gelombang tekanan dari kebijakan proteksionisme global yang terus berlanjut. Hanya waktu yang akan menjawab bagaimana IHSG menavigasi dua kekuatan besar yang saat ini menariknya ke arah yang berlawanan.

No More Posts Available.

No more pages to load.