Ketegangan di kawasan Asia Timur kembali meningkat setelah terjadi insiden udara China Jepang yang melibatkan jet tempur China dan pesawat intel Jepang di atas wilayah udara internasional Laut China Timur. Peristiwa ini menandai eskalasi ketegangan militer antara kedua negara yang selama ini sudah menjadi titik panas geopolitik di kawasan. Kejadian ini bukan yang pertama; tercatat sudah dua kali terjadi dalam waktu dekat, memicu kekhawatiran akan risiko konflik yang lebih serius.
Insiden Udara Pertama: Manuver Jet Tempur China Dekati Pesawat Intel Jepang
Insiden pertama terjadi pada pertengahan Juni 2025. Dua jet tempur J-15 milik Angkatan Laut China lepas landas dari kapal induk Shandong dan Liaoning, lalu melakukan manuver dekat pesawat patroli P-3C Orion milik Pasukan Bela Diri Jepang. Pesawat Jepang melakukan misi pengawasan rutin di atas perairan internasional dekat zona pertahanan udara (ADIZ) yang diklaim China.
Kementerian Pertahanan Jepang melaporkan bahwa jet tempur China mendekati pesawat Jepang pada jarak 45 hingga 150 meter. Interaksi ini berlangsung selama 40 hingga 80 menit, durasi yang sangat panjang untuk insiden udara semacam ini. Pemerintah Jepang mengecam manuver tersebut sebagai “abnormal dan sangat berbahaya”, karena kedekatan seperti itu bisa memicu kecelakaan fatal.
Pengamat militer menekankan bahwa jarak yang sempit antara pesawat militer dengan kecepatan tinggi meningkatkan risiko tabrakan, bahkan hanya satu kesalahan kecil bisa memicu insiden yang lebih besar.
Insiden Kedua: Intersep Berbahaya Terjadi Dua Hari Berturut-turut
Dua hari berturut-turut pada 9 dan 10 Juli 2025, insiden udara kembali terjadi. Dua jet tempur-bomber JH-7 milik China mencegat pesawat intel YS-11EB Jepang. Pesawat Jepang sedang melakukan patroli pengawasan di Laut China Timur. Jet China mendekati pesawat tersebut dengan jarak hanya 30 hingga 60 meter. Kedekatan ini sangat berisiko bagi keselamatan penerbangan militer.
Laporan Tokyo menyebutkan bahwa intersepsi berlangsung sekitar 15 menit pada hari pertama dan 10 menit pada hari kedua. Para pengamat menilai kedekatan dan durasi pertemuan di udara ini sangat berbahaya dan melanggar standar keselamatan penerbangan militer internasional.
Para analis menegaskan bahwa pola ini menunjukkan peningkatan frekuensi dan agresivitas insiden udara China Jepang, yang bisa meningkatkan risiko salah paham dan eskalasi militer.
Jepang Protes Keras Insiden Udara Militer China
Pemerintah Jepang merespons kedua insiden dengan tegas. Dalam konferensi pers, juru bicara Kementerian Pertahanan Jepang menyatakan bahwa tindakan militer China menimbulkan risiko nyata bagi keselamatan awak pesawat. Jepang mengajukan protes diplomatik resmi ke Beijing dan meminta China menghentikan manuver yang bisa memicu ketegangan lebih lanjut.
Wakil Menteri Luar Negeri Jepang memanggil Duta Besar China di Tokyo untuk menyampaikan nota protes secara langsung. Jepang menegaskan bahwa pesawat intel mereka berada di wilayah udara internasional dan menjalankan tugas sah sesuai hukum internasional. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi China untuk melakukan tindakan provokatif.
China Membela Aksinya
Pemerintah China membela tindakannya dengan menyatakan bahwa pesawat Jepang mendekati wilayah yang dianggap bagian dari zona pertahanan udara mereka. Juru bicara Kementerian Pertahanan China menegaskan bahwa jet tempur hanya menjalankan tugas rutin. Mereka bertanggung jawab merespons keberadaan asing di wilayah sensitif.
Beijing juga menuduh Jepang meningkatkan aktivitas pengintaian udara dalam beberapa bulan terakhir, terutama di sekitar kepulauan Senkaku (nama Jepang) atau Diaoyu (nama China). Menurut China, pengintaian Jepang yang berulang di kawasan tersebut merupakan provokasi terselubung, yang berpotensi menimbulkan salah paham militer.
Insiden Udara China Jepang Picu Tabrakan dan Dampak Militer
Para pengamat militer memperingatkan bahwa insiden udara China Jepang sangat berisiko. Di ruang udara yang sempit dan dengan kecepatan tinggi, jarak 30–60 meter cukup untuk memicu kecelakaan besar.
Selain itu, kedua negara memiliki hubungan militer yang rapuh. Jepang merupakan sekutu utama Amerika Serikat di Asia-Pasifik, sementara China menunjukkan sikap lebih agresif dalam memperkuat klaim wilayahnya di Laut China Timur dan Selatan. Jika insiden semacam ini terus berulang, kemungkinan konfrontasi terbuka, baik disengaja maupun tidak, semakin tinggi.
Seruan Internasional untuk Menahan Diri
Beberapa negara, termasuk Amerika Serikat dan Australia, menyatakan keprihatinan atas meningkatnya insiden udara di Asia Timur. Mereka menyerukan semua pihak menahan diri dan menjaga jalur komunikasi militer tetap terbuka, demi mencegah eskalasi konflik.
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) mendorong semua negara untuk mematuhi protokol keselamatan penerbangan militer. Hal ini sangat penting di wilayah udara yang rawan konflik atau memiliki klaim tumpang tindih. Contohnya adalah Laut China Timur. Dengan mengikuti protokol ini, risiko kecelakaan udara dan salah paham antarnegara dapat diminimalkan.
Baca juga : Banjir Jepang, 6 Juta Warga Terancam & Ribuan Rumah Hancur
Pentingnya Diplomasi dan Komunikasi Militer
Diplomasi aktif dan komunikasi militer menjadi kunci untuk mengurangi risiko konflik. Para ahli menekankan bahwa kedua pihak dapat mengurangi insiden udara China Jepang dengan memanfaatkan saluran diplomatik dan jalur komunikasi militer secara efektif.
Selain itu, transparansi mengenai misi pengawasan dan patroli udara dapat mengurangi kesalahpahaman yang berpotensi menimbulkan konfrontasi lebih luas. Kesadaran kedua negara akan risiko tinggi dari manuver agresif di udara menjadi langkah awal untuk mencegah krisis yang lebih besar.
Penutup: Ancaman Stabilitas Regional
Dua insiden udara dalam kurun waktu kurang dari sebulan menandai meningkatnya tensi militer antara Beijing dan Tokyo. Aksi jet tempur China yang mendekati pesawat intel Jepang menunjukkan dinamika baru dalam persaingan militer regional.
Jika kedua negara tidak mengambil langkah diplomatik lanjutan, ketegangan ini bisa berubah menjadi krisis nyata yang tidak hanya berdampak pada China dan Jepang, tetapi juga mengganggu stabilitas Asia Timur secara keseluruhan. Para pakar sepakat bahwa insiden udara China Jepang harus menjadi perhatian utama komunitas internasional, untuk menjaga keamanan dan stabilitas regional.
