Para pedagang yang masih bertahan di District Blok M, salah satu pusat keramaian dan kuliner di Jakarta Selatan. Kini menghadapi tantangan yang mengkhawatirkan. Para pedagang yang masih bertahan di kawasan tersebut mengaku kebingungan dan resah melihat fenomena masifnya kios-kios yang tutup permanen. Kondisi ini bukan hanya membuat suasana menjadi lebih lenggang, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar mengenai keberlanjutan masa depan kawasan ini sebagai destinasi favorit.
Salah satu pedagang aksesori elektronik, Bapak Hendra (nama samaran), yang sudah berjualan selama lebih dari lima tahun, merasakan betul perubahan yang drastis. “Awalnya satu-dua toko yang tutup, tapi lama-lama kok makin banyak. Hampir setiap minggu ada saja kios yang kosong. Kami sesama pedagang juga bertanya-tanya, ada apa ini?” ujarnya dengan nada bingung. Menurutnya, kondisi ini sangat berbeda dengan beberapa tahun lalu di mana mencari kios kosong hampir mustahil karena tingginya permintaan.
Kabar dari mulut ke mulut di kalangan pedagang menunjuk pada satu alasan utama: kenaikan harga sewa yang tidak masuk akal. Para pedagang meyakini bahwa lonjakan biaya sewa memicu eksodus massal ini. “Kami tidak tahu persis berapa kenaikannya, karena setiap pemilik kios punya perjanjian sewa masing-masing. Tapi dari obrolan, banyak yang bilang angka sewa sudah tidak sebanding dengan pendapatan,” tambah Bapak Hendra.
Eksodus ini paling terasa di area pujasera, khususnya di sisi barat kawasan yang berdekatan dengan terminal. Kios-kios makanan dengan berbagai pilihan kuliner dulunya memadati area tersebut, namun kini banyak yang hanya menyisakan bangku-bangku kosong dan etalase yang tertutup debu. Dari puluhan kios makanan yang sebelumnya beroperasi, kini hanya tersisa belasan yang masih berjuang melayani pembeli. Pemandangan ini kontras dengan ramainya kondisi sebelum pandemi, di mana setiap jam makan siang, para pekerja kantoran dan mahasiswa selalu memenuhi kawasan ini.
Kondisi Sepi Pengunjung Menjadi Dampak Langsung
Kondisi sepi pengunjung menjadi dampak langsung dari banyaknya toko yang tutup. Jika dulunya para pengunjung datang dengan harapan bisa memilih berbagai jenis makanan dan produk, kini mereka seringkali merasa kecewa karena pilihan yang terbatas. “Jangankan jam makan siang, sore atau malam pun sekarang sepi. Pembeli jadi malas datang karena banyak tempat makan andalan mereka sudah tidak ada,” keluh Ibu Tanti, seorang pedagang minuman. Ia mengaku omzetnya menurun signifikan dalam beberapa bulan terakhir karena berkurangnya jumlah pengunjung.
Para pedagang yang bertahan adalah mereka yang menjual produk-produk non-makanan, seperti aksesori elektronik, jam tangan, dan jasa servis, karena produk mereka memiliki segmen pasar yang lebih stabil. Namun, mereka pun merasa cemas. “Kalau begini terus, kami takutnya makin sepi. Kios-kios yang ada di sekitar kami juga jadi ikut terasa dampaknya,” ujar Ibu Tanti. Sebagian pedagang yang tidak mampu bertahan di District Blok M mencari tempat baru. Mereka menuju pujasera Blok M Square karena menawarkan harga sewa terjangkau dan lokasi strategis.
Baca Juga : Ekonomi Indonesia Tumbuh 5,12%, Tertinggi di ASEAN
Pihak pengelola kawasan District Blok M belum menanggapi fenomena ini secara resmi. Namun, desakan untuk mencari solusi segera datang dari para pedagang yang masih bertahan. Mereka berharap ada komunikasi yang transparan dan kebijakan yang bisa membantu mereka untuk tetap beroperasi, sehingga denyut nadi ekonomi di kawasan tersebut tidak benar-benar mati. Fenomena ini mencerminkan tantangan berat sektor ritel dan kuliner di tengah ekonomi fluktuatif, di mana efisiensi biaya operasional dan dukungan pengelola menentukan daya tahan usaha.





