, ,

Kisah Mahasiswa Indonesia di Iran: Kampus Sempat Ditutup Akibat Gejolak Perang

oleh -28 Dilihat
Iran

Di tengah bayang-bayang ketegangan geopolitik yang sering melanda Timur Tengah, kehidupan ribuan mahasiswa, termasuk ratusan dari Indonesia, terus berjalan di berbagai pelosok Iran. Namun, ada kalanya realitas konflik mendekat begitu rupa, mengusik rutinitas akademik dan menguji ketabahan para perantau. Salah satu kisah yang mencerminkan dinamika ini datang dari sejumlah mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Iran, di mana kampus mereka sempat ditutup sementara waktu sebagai respons terhadap eskalasi militer yang mengancam stabilitas kawasan.

Indonesia memiliki ikatan historis dan kultural yang kuat dengan Iran, menjadikan negara tersebut destinasi populer bagi mahasiswa yang ingin mendalami studi keagamaan, filsafat Islam, atau ilmu pengetahuan umum dengan perspektif yang berbeda. Kota-kota seperti Qom, Teheran, dan Isfahan menjadi rumah bagi komunitas mahasiswa Indonesia yang vibran. Mereka datang dengan berbagai motivasi, mulai dari mencari ilmu hingga merasakan langsung peradaban Persia yang kaya. Mereka tergabung dalam berbagai organisasi kemahasiswaan, saling menguatkan, dan berbagi suka duka di tanah rantau.

“Awalnya saya tidak membayangkan akan menghadapi situasi seperti ini,” ujar Fatih (bukan nama sebenarnya), seorang mahasiswa pascasarjana di sebuah universitas terkemuka di Teheran, mengawali ceritanya. Fatih, yang sudah tiga tahun menimba ilmu di Iran, tiba dengan harapan bisa fokus pada penelitian dan tugas-tugas kuliahnya yang cukup berat. Namun, beberapa bulan lalu, ketegangan di kawasan Teluk meningkat tajam, dipicu oleh insiden-insiden yang memicu kekhawatiran global. Suasana kecemasan itu terasa hingga ke ibukota, memengaruhi atmosfer kota yang biasanya dinamis.

Ketegangan ini mencapai puncaknya ketika kabar mengenai serangan balasan dan ancaman militer semakin santer terdengar melalui berbagai kanal berita, baik lokal maupun internasional. Pagi itu, notifikasi resmi dari pihak universitas masuk ke grup WhatsApp mahasiswa. Isinya singkat namun tegas: seluruh kegiatan perkuliahan tatap muka dihentikan sementara dan kampus ditutup hingga batas waktu yang belum ditentukan, demi keamanan seluruh civitas akademika.

Baca Juga : Gus Ipul pastikan rencana sekolah rakyat matang setelah instruksi langsung dari Prabowo

“Jujur, ada rasa panik yang menjalar. Bukan hanya saya, tapi teman-teman lain juga,” kenang Fatih, mengingat kembali momen itu. “Beberapa dari kami langsung teringat berita-berita di tanah air tentang imbauan untuk waspada, bahkan kemungkinan evakuasi. Orang tua di Indonesia juga langsung menghubungi, nada suara mereka dipenuhi kekhawatiran, menanyakan kabar dan kondisi kami.” Kecemasan tidak hanya datang dari luar, tapi juga merayap di benak masing-masing.

Penutupan kampus bukan hanya sekadar libur dadakan; melainkan juga simbol nyata bahwa situasi keamanan sedang tidak baik-baik saja. Area sekitar universitas yang biasanya ramai dengan hiruk-pikuk mahasiswa, mendadak sepi. Kafe-kafe tempat diskusi dan toko buku di sekitar kampus tutup lebih awal, dan transportasi umum terasa lebih lengang, menyisakan pemandangan yang tak biasa bagi para perantau.

Adaptasi dan Solidaritas di Masa Sulit

Di tengah ketidakpastian, para mahasiswa Indonesia, yang mayoritas tinggal di asrama atau apartemen di luar kampus, segera berkoordinasi. “Kami sering berkumpul, berbagi informasi terbaru yang kami dapat dari berbagai sumber, dan yang terpenting, saling menguatkan,” tambah Nurul, mahasiswi tingkat akhir jurusan filsafat yang juga merasakan dampak penutupan kampus. “Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Teheran juga sangat responsif. Mereka langsung menghubungi kami melalui grup-grup komunikasi, memberikan arahan, menggelar pertemuan virtual untuk memberikan briefing situasi, dan memastikan kondisi kami aman serta tercukupi kebutuhan dasarnya.”

Selama periode penutupan, kegiatan perkuliahan beralih sepenuhnya ke daring. Ini menjadi tantangan tersendiri, mengingat perbedaan zona waktu antara Indonesia dan Iran, serta terkadang, kendala akses internet yang tidak selalu stabil. Namun, semangat belajar para mahasiswa tak luntur. Mereka beradaptasi dengan cepat, mengikuti perkuliahan virtual hingga larut malam atau dini hari sesuai jadwal dosen, berdiskusi melalui platform online, dan tetap menyelesaikan tugas-tugas akademik mereka dengan penuh tanggung jawab.

“Ini pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan,” kata Fatih, menarik napas dalam, meresapi setiap memori. “Kami melihat langsung bagaimana sebuah negara bereaksi terhadap ancaman besar, bagaimana masyarakatnya menghadapi ketidakpastian. Ada rasa bangga juga melihat solidaritas luar biasa antar mahasiswa Indonesia di sini. Kami saling membantu, mulai dari urusan logistik—membeli kebutuhan pokok bersama untuk persediaan—sampai dukungan emosional, sekadar bercerita dan mendengarkan keluh kesah.”

Kembali ke Kampus dengan Semangat Baru

Setelah beberapa hari yang terasa panjang dan penuh ketidakpastian, kabar baik akhirnya datang. KBRI Teheran menginformasikan bahwa situasi mulai kondusif, ketegangan mereda, dan tak lama kemudian, pihak universitas mengumumkan bahwa kampus akan kembali dibuka secara bertahap. Rasa lega meliputi komunitas mahasiswa. Mereka kembali ke kelas dengan semangat baru, membawa pengalaman unik yang membentuk cara pandang mereka terhadap kehidupan, studi, dan pentingnya persatuan.

Kisah Fatih dan Nurul hanyalah secuil dari banyak cerita mahasiswa Indonesia di Iran yang menghadapi realitas geopolitik. Pengalaman mereka menjadi bukti bahwa di tengah ketidakpastian global, semangat menuntut ilmu, adaptasi yang cepat, dan terutama, ketahanan diri dapat membawa mereka melewati badai. Ini juga menjadi pengingat akan peran penting diplomatik dan dukungan komunitas dalam menjaga keselamatan serta kesejahteraan warga negara di negeri orang. Kembali ke rutinitas akademik, mereka kini membawa serta pelajaran berharga tentang resiliensi, solidaritas, dan arti sebenarnya dari persaudaraan di perantauan, menjadikan mereka individu yang lebih tangguh dan berempati.

No More Posts Available.

No more pages to load.