Gelombang kekecewaan dan tanda tanya besar kembali menyelimuti publik setelah Mahkamah Agung (MA) memutuskan untuk memangkas hukuman pidana terhadap terpidana kasus korupsi KTP elektronik, Setya Novanto. Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini bukan hanya sekadar berita hukum biasa, melainkan memicu perdebatan sengit tentang ketegasan negara dalam memberantas korupsi. Pertanyaan utama yang muncul adalah: apakah ini pertanda hukuman bagi koruptor semakin enteng di mata hukum? Keraguan ini langsung disuarakan dengan lantang oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, Johanis Tanak, yang secara tegas menuntut hukuman berat bagi koruptor demi efek jera yang nyata.
Reduksi Vonis yang Mengusik Rasa Keadilan
Kompas.com mengonfirmasi pada Rabu (2/7/2025) bahwa MA mengabulkan PK Setya Novanto. Eks Ketua DPR divonis 15 tahun atas korupsi e-KTP dengan putusan konsisten di semua tingkat peradilan.
MA belum transparan soal durasi pemangkasan, tapi putusan PK otomatis mengurangi masa hukuman Novanto. Kasus KTP-el, yang telah merugikan keuangan negara hingga triliunan rupiah, merupakan salah satu skandal korupsi terbesar di Indonesia. Oleh karena itu, setiap putusan terkait kasus ini selalu menjadi perhatian utama masyarakat yang mendambakan keadilan. Keringanan PK e-KTP berisiko melemahkan kepercayaan publik dan jadi preseden buruk.
Johanis Tanak: “Koruptor Selayaknya Dihukum Berat” – Jaminan Efek Jera
MA belum jelas soal durasi, tapi PK otomatis memangkas hukuman Novanto. Ia secara gamblang menegaskan kembali prinsip fundamental dalam upaya memberantas kejahatan luar biasa ini: para pelaku kejahatan korupsi harusnya menerima sanksi yang paling berat. Ia menegaskan efek jera mencegah korupsi hanya tercapai lewat hukum tegas tanpa kompromi atau keringanan.
Baca Juga : Kisah Perjalanan Adolf Hitler: Dari Seniman Gagal Menuju Diktator Terkejam
Tanak berpendapat bahwa putusan yang meringankan hukuman bagi koruptor kelas kakap seperti Setya Novanto berpotensi mengirimkan sinyal yang sangat keliru kepada publik dan terutama kepada para calon koruptor. Hal ini menimbulkan ilusi koruptor masih bisa dapat keringanan hukuman. Padahal, untuk kejahatan yang menggerogoti sendi-sendi negara seperti korupsi, konsistensi dan ketegasan hukum adalah mutlak.
Menjaga Kepercayaan Publik dan Spirit Pemberantasan Korupsi
Perjalanan kasus Setya Novanto di meja hijau memang telah menjadi saga tersendiri, yang penuh dengan drama dan intrik politik. Mulai dari upaya menghindar dari panggilan pemeriksaan KPK, insiden “tiang listrik” yang sempat viral, hingga akhirnya vonis bersalah, kasus ini telah menyita perhatian dan emosi publik selama bertahun-tahun. Penanganan kasusnya selalu menjadi tolok ukur bagi masyarakat untuk menilai seberapa serius komitmen negara dalam melawan korupsi.
Pengamat menilai keringanan hukuman MA berisiko mengikis kepercayaan publik. Masyarakat menuntut keadilan tanpa pandang bulu dan berharap putusan ini tak jadi preseden yang melemahkan pemberantasan korupsi. Momentum ini harus jadi refleksi peradilan agar efek jera tak luntur dan keadilan benar-benar terwujud dalam setiap putusan korupsi. Keberanian dan konsistensi dalam menghukum berat koruptor adalah pondasi penting untuk membangun Indonesia yang bersih dari praktik-praktik tercela ini.
