Pada 10 April 1815, Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Indonesia, meletus dengan kekuatan dahsyat, salah satu letusan gunung berapi paling hebat dalam sejarah. Letusan ini menghancurkan wilayah sekitar dan memicu konsekuensi global, mengubah iklim, dan memengaruhi kehidupan jutaan orang di seluruh dunia. Peristiwa ini mengingatkan manusia akan kekuatan alam dan kerentanannya.
Keindahan yang Menipu: Gunung Tambora Sebelum Bencana
Sebelum letusan, Gunung Tambora menjulang setinggi sekitar 4.300 meter dan terlihat megah. Lereng suburnya menampung komunitas lokal yang makmur, memanfaatkan tanah kaya dan sumber daya alam melimpah. Kerajaan kecil seperti Tambora, Pekat, dan Sanggar berkembang di bawah naungannya, mengukir sejarah dan budaya. Namun, tekanan geologi yang tersembunyi membangun kekuatan besar yang akhirnya meledak.
Detik-Detik Kiamat: Puncak Letusan Gunung Tambora 1815
Beberapa hari sebelum letusan, gunung menunjukkan aktivitas seismik meningkat, menjadi peringatan dini. Pada malam 10 April 1815, Gunung Tambora meledak setara 100.000 kali bom atom Hiroshima. Kolom abu vulkanik menjulang puluhan kilometer ke atmosfer, menggelapkan langit di radius ribuan kilometer. Suara letusan terdengar hingga Pulau Sumatera, lebih dari 2.000 km, dan samar terdengar di sebagian wilayah Australia. Aliran piroklastik panas membakar lereng gunung, sementara tsunami setinggi beberapa meter menghantam pesisir pulau sekitar, menambah jumlah korban dan kerusakan.
Dampak Lokal: Hilangnya Peradaban dan Ribuan Nyawa
Letusan menewaskan lebih dari 71.000 orang akibat ledakan, aliran piroklastik, tsunami, kelaparan, dan penyakit. Polisi memperkirakan tiga kerajaan lokal – Tambora, Pekat, dan Sanggar – musnah, terkubur abu dan puing vulkanik. Penduduk yang selamat harus berjuang keras, lahan pertanian rusak, sumber air tercemar, dan kehidupan di Pulau Sumbawa lumpuh total. Letusan mengubah lanskap dan demografi wilayah secara drastis.
Baca Juga: Prostitusi di sekitar IKN, Tarif Capai Rp700 Ribu
Dampak Global: Tahun Tanpa Musim Panas dan Kekacauan Iklim
Partikel sulfat dan aerosol dari letusan tersebar ke stratosfer, membentuk selubung tipis yang memantulkan sinar matahari. Selubung ini menurunkan suhu global, menyebabkan “Tahun Tanpa Musim Panas” di Belahan Bumi Utara pada 1816.
Di Eropa dan Amerika Utara, suhu dingin, hujan es, dan salju pada musim panas merusak panen. Kelaparan meluas, memicu kerusuhan sosial dan migrasi besar. Penyakit seperti tifus dan kolera menyebar cepat karena sanitasi buruk dan malnutrisi. Bahkan Tiongkok dan India mengalami cuaca ekstrem, gagal panen, dan banjir parah.
Jejak Letusan Gunung Tambora dalam Sejarah dan Budaya
Cuaca suram pada “Tahun Tanpa Musim Panas” menginspirasi Mary Shelley menulis Frankenstein di Swiss. Letusan ini juga memengaruhi karya seni dan sastra lainnya, mencerminkan kegelisahan masyarakat global.
Meskipun letusan terjadi setelah kampanye Napoleon di Rusia 1812, peristiwa ini menunjukkan bagaimana bencana alam memengaruhi geostrategi dan sejarah manusia.
Pelajaran dari Letusan Gunung Tambora: Masa Lalu dan Masa Depan
Letusan ini mengingatkan manusia akan kekuatan alam dan dampaknya, baik lokal maupun global. Peristiwa ini memberi wawasan penting bagi ilmuwan tentang geologi, iklim, dan ketahanan manusia. Studi lanjutan membantu memprediksi letusan di masa depan dan merancang strategi mitigasi untuk mengurangi risiko bencana. Kisah Gunung Tambora tetap menjadi bab penting dalam sejarah planet kita, menyoroti keterkaitan sistem bumi dan pentingnya memahami kekuatan alam.






