Menag Tantang Kampus Berani Tutup Jurusan yang Tak Laku: Jangan Beri Harapan Palsu!

oleh
Menag

Menteri Agama (Menag) RI, Nasaruddin Umar, melontarkan kritik tajam sekaligus arahan strategis bagi masa depan pendidikan tinggi keagamaan di Indonesia. Dalam sebuah pertemuan krusial bersama para pimpinan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Menag menekankan bahwa institusi pendidikan harus berhenti bergerak secara mekanis. Dan mulai beroperasi dengan orientasi hasil yang nyata bagi kesejahteraan lulusannya.

Pernyataan ini menjadi sorotan utama saat peluncuran sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) PTKIN 2026. Menag menegaskan bahwa dunia pendidikan saat ini sedang berpacu dengan waktu melawan disrupsi industri yang sangat cepat.

Kritik terhadap Pola Pikir ‘Cetak Ijazah’

Menag Nasaruddin Umar secara blak-blakan menyentil kecenderungan kampus yang masih bangga hanya karena mampu meluluskan ribuan mahasiswa setiap tahunnya. Ia menganggap angka kelulusan yang tinggi tidak bermakna apa pun tanpa ketersediaan lapangan kerja yang mampu menyerap para sarjana tersebut.

“Kita berdosa jika terus membukakan pintu bagi mahasiswa untuk masuk ke program studi yang kita sendiri tahu bahwa lapangan kerjanya sudah jenuh atau bahkan hilang. Kampus jangan hanya menjadi mesin administratif yang mencetak lulusan tanpa membaca realitas lapangan kerja,” tegas Menag dengan nada serius.

Beliau menambahkan bahwa pengelola kampus sering kali terjebak dalam zona nyaman kurikulum lama, sementara profil pekerjaan di dunia luar sudah berubah total akibat kecerdasan buatan (AI) dan otomatisasi.

Strategi ‘Out of the Box’: Tutup Jurusan yang Tak Relevan

Dalam arahan lanjutannya, Menag meminta para Rektor untuk memiliki keberanian melakukan evaluasi radikal. Manajemen kampus harus segera bertindak melakukan restrukturisasi hingga penutupan prodi, terutama jika dunia kerja tidak lagi melirik lulusannya atau saat antusiasme calon mahasiswa terus merosot.

Menag menawarkan beberapa poin kunci transformasi:

  • Audit Relevansi: Melakukan survei berkala terhadap alumni untuk mengetahui durasi tunggu mendapatkan kerja dan kesesuaian bidang kerja.

  • Inovasi Kurikulum: Mengintegrasikan nilai-nilai moderasi beragama dengan keahlian teknis (digital, sains, dan bisnis) agar lulusan PTKIN memiliki nilai jual unik.

  • Kemitraan Industri: Kampus tidak boleh lagi menjadi “menara gading” yang eksklusif, melainkan harus menjemput bola dengan bekerja sama langsung dengan sektor industri dan korporasi.

Belajar dari Kesuksesan PTIQ

Sebagai perbandingan nyata, Menag menceritakan pengalamannya saat memimpin Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ). Ia mengklaim bahwa dengan pemetaan yang tepat, lulusan dari institusi tersebut hampir 100 persen terserap oleh kebutuhan masyarakat dan lembaga profesional.

“Keberhasilan itu terjadi karena kita tahu apa yang dibutuhkan masyarakat. PTKIN harus mencontoh model seperti ini. Kita harus menciptakan lulusan yang tidak hanya ‘siap kerja’, tetapi ‘dicari oleh kerja’,” imbuhnya.

Visi Menciptakan Masyarakat Beradab (Civilized Society)

Namun, Menag juga memperingatkan agar orientasi lapangan kerja tidak menghilangkan jati diri pendidikan tinggi keagamaan. Lulusan PTKIN harus tetap memegang teguh etika, karakter, dan keteladanan para ulama.

Menurut Nasaruddin, tantangan terbesar bagi sarjana saat ini bukan sekadar soal kepintaran intelektual, melainkan integritas moral di tengah persaingan global yang kian liar. Ia berharap kampus-kampus di bawah naungan Kemenag menjadi pusat lahirnya civilized society yang mampu menyeimbangkan kemajuan ekonomi dengan keluhuran budi pekerti.

“Mari kita berbenah. Ubah paradigma kampus kita dari sekadar tempat mencari gelar menjadi tempat persemaian pemimpin masa depan yang kompeten secara profesional dan tangguh secara spiritual,” pungkas Menag menutup arahannya.

Baca Juga : Inspiratif! Gerakan Mengajar Desa Bawa Gardian Muhammad Sabet Anugerah Figur Akselerator Kemajuan

No More Posts Available.

No more pages to load.