Wacana pemerintah soal desain baru Rumah Subsidi berukuran hanya 18 meter persegi tengah menuai sorotan tajam. Gagasan ini mereka sampaikan dalam rancangan peraturan terbaru. Tujuannya adalah memperluas kepemilikan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, bukan pujian yang datang. Sebaliknya, kritik keras muncul dari masyarakat, pakar perumahan, ahli kesehatan, hingga asosiasi arsitek.
Desain hunian mungil ini rencananya berdiri di atas lahan seluas 25 meter persegi. Bangunannya berukuran hanya 18 meter persegi. Rancangan ini ditujukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk efisiensi lahan. Mereka juga ingin memberi kesempatan lebih luas kepada warga yang belum memiliki tempat tinggal. Namun, kenyataan di lapangan berkata lain.
Netizen: “Rumah Subsidi Mirip Kamar Kos, Bukan Rumah Keluarga”
Respons dari warganet muncul dalam berbagai bentuk protes di media sosial. Banyak yang menyamakan konsep hunian tersebut dengan kamar kos atau bahkan kandang. Unggahan visual denah dan foto contoh unit hunian 18 m² viral. Komentar-komentar seperti, “Masa rumah keluarga cuma segini?” atau “Ini rumah subsidi atau tempat darurat pas bencana?” membanjiri unggahan tersebut.
Banyak pengguna X (dulu Twitter) dan TikTok membuat konten reaksi bernada sindiran. Beberapa mengangkat ironi betapa beratnya hidup rakyat kecil. Mereka harus menerima hunian mikro dengan fasilitas terbatas, tetapi tetap harus membayar cicilan.
Kritik dari Ahli Arsitektur dan Kesehatan
Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Ahmad Djuhara, menyatakan Rumah Subsidi berukuran sekecil itu tidak bisa mereka kategorikan layak huni. Menurutnya, standar minimum ruang tinggal yang manusiawi menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah sekitar 9 m² per orang. Dengan demikian, rumah 18 m² hanya cocok untuk satu orang dewasa, bukan satu keluarga.
“Konsep hunian harus memenuhi aspek sosial, psikologis, dan fungsional. Kalau terlalu sempit, itu akan menciptakan tekanan mental dan konflik domestik,” ujar Ahmad dalam wawancara dengan media nasional.
Baca Juga : Polisi Australia Mati: Kejadian Penembakan di Kota Kecil Victoria
Pendapat serupa diungkapkan pengamat arsitektur dari ITS, Ir. Andi Subagyo. Ia menyebut rumah subsidi dengan ukuran di bawah 30 m² akan sulit berkembang. “Masyarakat butuh rumah yang bisa diperluas, bukan ruang tertutup yang padat sejak awal,” ujarnya. Ahli kesehatan masyarakat, Dr. Ervina Wulandari, menjelaskan hunian sempit dalam jangka panjang dapat berdampak buruk pada kesehatan mental dan fisik penghuninya. “Ruang terbatas meningkatkan stres, konflik antar anggota keluarga, dan berdampak pada kualitas tidur serta produktivitas,” jelasnya. Selain itu, risiko penyakit juga meningkat jika sirkulasi udara dan pencahayaan alami minim. Hal itu umumnya terjadi di rumah subsidi berukuran sangat kecil.
Pengembang Rumah Subsidi Ragu dan Tanggapan Pemerintah
Sementara itu, sejumlah pengembang yang tergabung dalam asosiasi Real Estate Indonesia (REI) dan Apersi menyatakan keraguan terhadap rencana tersebut. Junaidi Abdillah, Ketua Umum Apersi, mengatakan rumah dengan ukuran tersebut sulit mereka pasarkan meskipun tergolong murah. “Pasarnya memang untuk masyarakat berpenghasilan rendah, tetapi kebutuhan mereka tetap butuh fungsi ruang dasar: tidur, makan, mandi, dan interaksi keluarga. Semua itu mustahil bisa dilakukan dengan nyaman di rumah 18 m²,” jelasnya.
Pihak pengembang juga khawatir konsep ini akan memperburuk persepsi masyarakat terhadap program Rumah Subsidi yang seharusnya menjadi solusi, bukan masalah baru. Menanggapi kontroversi ini, Kementerian PUPR menyatakan rancangan tersebut masih dalam tahap uji publik. Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian PUPR menyebutkan bahwa masukan dari masyarakat akan menjadi pertimbangan dalam finalisasi regulasi.
“Kami membuka ruang diskusi. Ini bukan keputusan final. Justru respons publik seperti ini membantu kami mengevaluasi,” katanya dalam sebuah forum diskusi daring. Menurutnya, desain awal memang mereka tujukan bagi segmen masyarakat lajang atau keluarga kecil yang baru membentuk rumah tangga. Ia menyatakan, nantinya akan ada pilihan perluasan jika penghuni membutuhkan ruang tambahan.
Solusi Ideal: Skema Rumah Layak Huni
Sebagai solusi, banyak pihak mendorong pemerintah untuk tetap mempertahankan standar minimal luas bangunan sekitar 36–40 m². Mereka melihat itu sebagai batas dasar rumah yang manusiawi. Mereka menilai skema rumah tumbuh—yaitu rumah yang bisa mereka kembangkan secara vertikal atau horizontal—lebih ideal daripada memangkas ruang sejak awal.
Selain itu, alternatif Rumah Subsidi berbasis rumah susun (rusun) juga kembali diusulkan. Khususnya di daerah padat penduduk dan lahan terbatas. Model ini memungkinkan efisiensi lahan, tetapi tetap menjaga kualitas hidup warga.
Beberapa pengamat juga menyarankan penguatan skema pembiayaan. Contohnya, mereka menyarankan pemanfaatan dana BP Tapera dan BPJS Ketenagakerjaan melalui Manfaat Layanan Tambahan (MLT). Dengan demikian, masyarakat bisa membeli rumah yang benar-benar layak huni.
Hunian Manusiawi Adalah Prioritas
Polemik Rumah Subsidi berukuran 18 meter ini menunjukkan bahwa kebutuhan dasar seperti hunian tidak bisa kita lihat dari sisi efisiensi ekonomi semata. Aspek sosial, psikologis, dan kesehatan penghuninya harus menjadi prioritas. Semoga pemerintah mengevaluasi kembali rencana ini demi mewujudkan hunian yang tidak hanya terjangkau, tetapi juga layak dan manusiawi.
