Pada musim panas tahun 1518, kota Strasbourg, yang kini berada di wilayah Prancis, mengalami fenomena aneh yang hingga kini tetap menjadi misteri sejarah: Wabah Menari Strasbourg. Fenomena ini melibatkan hampir 400 orang yang tiba-tiba menari tanpa henti di jalan-jalan kota. Mereka mengibaskan tangan seperti burung, berjinjit, dan bergerak tanpa kendali selama berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, dari Juli hingga September. Tubuh mereka menjadi basah oleh keringat, pakaian compang-camping, dan banyak di antaranya mengalami luka melepuh dan pendarahan pada kaki. Sayangnya, sebagian korban meninggal akibat kelelahan dan kondisi fisik yang memburuk.
Fenomena ini menimbulkan kepanikan besar di Strasbourg, karena warga dan otoritas kota tidak memahami penyebab tarian paksa tersebut.
Reaksi Awal Otoritas Kota Strasbourg
Para pejabat kota segera mencari bantuan dari tabib dan tokoh agama. Setelah berdiskusi, dewan kota memutuskan menyediakan panggung dan musik, termasuk genderang dan terompet, dengan harapan dapat menyalurkan energi para penari. Sayangnya, upaya ini justru memperburuk keadaan. Jumlah penari meningkat drastis, dan korban semakin banyak berjatuhan.
Kekacauan ini membuat para pejabat menyadari bahwa metode awal mereka tidak efektif. Mereka kemudian mencari cara lain untuk menghentikan wabah yang tampak tak terkendali ini.
Awal Mula Wabah Menari Strasbourg
Catatan tabib Paracelsus pada tahun 1530-an mencatat bahwa seorang wanita memulai Wabah Menari Strasbourg dengan menari sendirian di tengah kota. Ia menari tanpa henti selama beberapa hari, dan tatapannya kosong. Dalam waktu seminggu, puluhan warga lainnya ikut terdorong untuk menari tanpa kendali.
Sebuah puisi dari arsip kota menggambarkan kondisi tragis ini: “Dalam kegilaan mereka, orang-orang terus menari hingga mereka pingsan dan banyak yang meninggal.”
Kesadaran akan kegagalan penanganan awal mendorong dewan kota untuk memberlakukan tindakan lebih tegas. Mereka mulai menganggap para penari mengalami “murka suci” dan memerintahkan penebusan dosa paksa. Dewan kota melarang warga memainkan musik dan menari di ruang publik, lalu mengantar para penari yang berlumuran darah ke sebuah kuil yang didedikasikan untuk Santo Vitus, santo pelindung epilepsi, di gua pengap dekat kota Saverne.
Di kuil ini, kaki para penari dipasangi sepatu merah dan mereka digiring mengelilingi patung Santo Vitus. Beberapa minggu kemudian, sebagian besar penari mulai menghentikan gerakan liar mereka.
Teori Modern Tentang Wabah Menari Strasbourg
Para ilmuwan modern masih meneliti Wabah Menari Strasbourg, dan beberapa teori telah diajukan untuk menjelaskan fenomena tersebut.
1. Kerasukan Roh dan Lingkungan Kepercayaan
Fenomena ini sering orang anggap sebagai bentuk ‘kerasukan roh.’ Antropolog Erika Bourguignon mencatat bahwa lingkungan kepercayaan yang menekankan kerasukan roh membuat individu yang tumbuh di dalamnya cenderung mengalami kondisi mental disosiatif. Dalam kondisi ini, kesadaran normal mereka terganggu, dan mereka bertindak sesuai dengan norma budaya tentang perilaku orang yang kerasukan.
Di Eropa abad pertengahan, biarawati dan warga sering menunjukkan gejala mirip: menggeliat, kejang, dan mengeluarkan suara aneh. Oleh karena itu, Wabah Menari Strasbourg mungkin berakar dari keyakinan budaya yang kuat tentang kutukan dan murka santo pelindung.
2. Jamur Ergot
Peneliti abad ke-20 mengajukan teori lain, yaitu kemungkinan konsumsi roti yang terkontaminasi jamur ergot. Jamur ini tumbuh pada gandum hitam dan dapat menyebabkan kejang, halusinasi, bahkan gangren.
Masyarakat Strasbourg pada abad ke-16 mengonsumsi roti gandum hitam secara rutin. Jika roti mereka terkontaminasi jamur ergot, para penari bisa mengalami halusinasi dan kejang yang menyebabkan gerakan tak terkendali. Meskipun teori ini menjelaskan beberapa gejala fisik, pertanyaan tetap muncul: apakah ergotisme bisa memicu tarian yang berlangsung berhari-hari?
3. Gangguan Psikogenik Massal
Ilmuwan John Waller menjelaskan bahwa teori gangguan psikogenik massal atau histeria massal memberikan penjelasan modern yang paling mendekati fenomena ini. Waller menunjukkan bahwa Wabah Menari Strasbourg terjadi di tengah kondisi stres ekstrem.
Pada masa itu, warga Strasbourg menghadapi kelaparan, penyakit seperti cacar dan sifilis, harga gandum tinggi, dan konflik sosial. Ketakutan dan kecemasan yang menumpuk menciptakan lingkungan yang memicu respons psikologis massal. Ketika satu orang mulai menari karena dorongan tak terkendali, orang lain ikut terdorong, membentuk fenomena menular secara psikologis.
Bau tidak sedap, rumor, atau ketegangan sosial juga dapat memicu gangguan psikogenik massal. Dalam kasus Strasbourg, histeria massal kemungkinan lebih masuk akal daripada teori ergotisme atau kerasukan roh, karena tarian melibatkan ratusan orang dan berlangsung selama beberapa minggu.
Baca juga : Minuman bersoda: Bahaya Bila Mengomsumsi Berlebihan
Warisan dan Peringatan Sejarah Wabah Menari Strasbourg
Meski telah lebih dari lima abad berlalu, Wabah Menari Strasbourg tetap menjadi studi menarik bagi para sejarawan dan psikolog. Pada tahun 2018, kota Strasbourg mengenang fenomena ini dengan pameran di Musée de l’Oeuvre Notre-Dame, film dokumenter, dan novel karya penulis Prancis Jean Teulé.
Selain itu, sekelompok DJ menyelenggarakan pesta tekno dengan nama “1518” untuk memperingati peristiwa bersejarah ini. Para ilmuwan modern terus menggunakan kasus ini untuk memahami interaksi antara budaya, psikologi, dan lingkungan sosial dalam memicu fenomena massal.
Kesimpulan
Wabah Menari Strasbourg tetap menjadi salah satu misteri paling unik dalam sejarah Eropa abad ke-16. Penjelasan modern menunjuk pada gangguan psikogenik massal sebagai teori yang paling masuk akal, karena fenomena ini terjadi di tengah stres sosial, penyakit, dan kelaparan. Namun, teori kerasukan roh dan ergotisme tetap memberikan wawasan tentang konteks budaya dan lingkungan pada masa itu.
Kasus ini mengingatkan kita bahwa sejarah manusia sering kali menghadirkan peristiwa yang sulit dijelaskan dengan logika medis atau ilmiah, dan budaya serta psikologi memengaruhi perilaku kolektif secara signifikan.






