Rencana Redenominasi Rupiah kembali mencuat ke permukaan. Kebijakan pemangkasan tiga nol di mata uang ini menjadi sorotan hangat, terutama setelah Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 memasukkan penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi dalam Rencana Strategis Kemenkeu 2025-2029. Target penyusunan RUU pada periode 2026-2027 menunjukkan keseriusan pemerintah.
Meskipun secara teknis redenomiasi hanyalah penyederhanaan angka dan bukan sanering (pemotongan nilai uang). Pertanyaan utama yang selalu menghantui publik adalah: Benarkah langkah ini tidak akan memicu inflasi dan menggerus daya beli masyarakat? Para ekonom dan analis pasar menilai, keberhasilan redenomiasi sangat bergantung pada waktu pelaksanaannya, stabilitas ekonomi. Serta kemampuan pemerintah dalam mengelola persepsi dan psikologi pasar.
Tujuan Mulia Versus Risiko Psikologis
Secara fundamental, redenominasi bertujuan mulia untuk memperkuat kredibilitas Rupiah di mata dunia. Meningkatkan efisiensi ekonomi, dan menyederhanakan sistem akuntansi yang selama ini terbebani oleh deretan angka nol yang panjang. Pemerintah/Bank Indonesia berharap langkah ini dapat menarik kepercayaan investor global yang mungkin merasa ‘lelah’ berhitung dengan mata uang yang memiliki nilai nominal terlalu besar.
Namun, di balik tujuan teknis tersebut, redenominasi membawa risiko besar yang bersifat psikologis, yaitu Money Illusion.
Money Illusion adalah ilusi moneter di mana masyarakat, terutama yang kurang teredukasi, salah memahami bahwa nilai nominal yang baru (misalnya, Rp 10 menjadi Rp 10.000) berarti nilai barang juga turun signifikan. Dalam praktik di lapangan, risiko terbesarnya adalah potensi kenaikan harga barang dan jasa melalui pembulatan (rounding up).
Sebagai contoh, jika harga sebuah permen adalah Rp 1.900 (yang akan menjadi Rp 1,90 pasca-redenominasi). Penjual cenderung melakukan pembulatan ke atas menjadi Rp 2,00. Kenaikan harga Rp 100 per unit mungkin terlihat kecil dalam nilai nominal lama, tetapi persentase kenaikan tersebut sangat besar. Fenomena pembulatan massal inilah yang membuat publik/ekonom takut akan memicu inflasi. Dari sisi mikro dan pada akhirnya menggerus daya beli rakyat, khususnya mereka yang berpenghasilan rendah.
Prasyarat Krusial: Stabilitas dan Edukasi
Para ahli menekankan bahwa Pemerintah/otoritas hanya boleh melakukan redenominasi saat fondasi ekonomi negara berada dalam kondisi sangat stabil, dengan tingkat inflasi yang rendah dan terkendali. Mereka mutlak memerlukan stabilitas ini untuk mencegah kepanikan publik yang dapat berujung pada penarikan dana besar-besaran atau perubahan drastis perilaku belanja masyarakat.
Oleh karena itu, proses redenominasi bukanlah hal yang bisa terjadi dalam waktu singkat. Proses ini membutuhkan koordinasi lintas lembaga yang intensif dan mencakup beberapa fase kritis:
- Fase Persiapan Legislasi: Penyusunan dan pengesahan RUU Redenominasi (ditargetkan Kemenkeu 2026-2027).
- Fase Transisi Sistem: Penyesuaian besar-besaran pada sistem perbankan, mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM), perangkat point-of-sale (POS), hingga sistem akuntansi di seluruh perusahaan.
- Fase Edukasi Publik: Melakukan sosialisasi masif dan terstruktur untuk menghilangkan money illusion dan memastikan masyarakat memahami bahwa redenominasi bukan sanering.
- Fase Transisi Uang: Masa peredaran uang lama dan uang baru secara bersamaan yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun sebelum uang lama ditarik sepenuhnya.
Jangan Terburu-buru
Mengingat kompleksitas dan risiko psikologisnya, para ekonom memberikan catatan penting. Redenominasi adalah kebijakan jangka panjang yang membutuhkan kesabaran dan kehati-hatian. Pemerintah/Otoritas yang memaksakan pelaksanaan di tengah ketidakpastian ekonomi global atau ketika inflasi domestik masih rentan, justru dapat menghilangkan manfaat dan berpotensi meningkatkan biaya hidup masyarakat.
Baca Juga : Hotel Rosewood Menawarkan Pengalaman Mewah
Kesimpulan para analis adalah bahwa secara teknis, redenomiasi dapat meningkatkan efisiensi dan kredibilitas Rupiah. Namun, secara praktis, pemerintah harus mampu menjamin bahwa mereka dapat meredam total risiko inflasi akibat pembulatan dan kepanikan akibat money illusion melalui sosialisasi yang efektif dan kondisi makroekonomi yang kokoh. Hanya dengan fondasi yang kuat, rakyat dapat benar-benar merasakan manfaat redenomiasi tanpa merugikan daya beli mereka.







