NUSASUARA – Perang Dagang antara Amerika Serikat dan Uni Eropa, dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia, kembali di uji oleh gelombang ketegangan yang mengancam melumpuhkan sektor-sektor kunci. Ini dimulai dari industri pesawat terbang hingga minuman beralkohol mewah seperti wiski. Ancaman tarif timbal balik yang terus-menerus ini bukan hanya sekadar friksi di plomatik biasa; ia memiliki potensi untuk merombak rantai pasok global. Ini juga bisa menaikkan harga bagi konsumen, dan pada akhirnya, menghambat pertumbuhan ekonomi di kedua benua.
Akar Masalah Perang Dagang: Subsidi Pesawat dan Sengketa WTO yang Berlarut-larut
Pemicu utama perang dagang transatlantik ini berakar pada sengketa subsidi pesawat yang telah berlangsung selama hampir dua dekade di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Washington menuduh Uni Eropa memberikan subsidi ilegal kepada Airbus, raksasa manufaktur pesawat yang berbasis di Eropa, yang di anggap merugikan pesaing utamanya dari AS, Boeing. Sebaliknya, Uni Eropa juga balik menuduh AS memberikan subsidi tidak adil kepada Boeing.
Sengketa ini mencapai puncaknya ketika WTO pada tahun 2019 memberikan lampu hijau kepada AS untuk mengenakan tarif balasan terhadap produk-produk Uni Eropa senilai miliaran dolar. Ini sebagai respons terhadap subsidi Airbus yang menjadi salah satu inti dari perang dagang ini. Sebagai hasilnya, AS telah memberlakukan tarif 15% pada pesawat terbang Airbus dan tarif 25% pada berbagai produk pertanian dan industri dari Eropa, termasuk keju, anggur, dan minyak zaitun. Tak mau kalah, Uni Eropa juga mendapatkan izin dari WTO pada tahun 2020 untuk menerapkan tarif balasan terhadap produk-produk AS. Ini menargetkan produk-produk Boeing, serta berbagai barang seperti motor, traktor, dan jus jeruk.
Baca Juga : Deal! Trump Umumkan Tarif Impor RI 19%, Turun dari 32%
Ancaman Eskalasi: Dari Anggur ke Whisky, dan Pesawat Lebih Tinggi Lagi
Yang paling mengkhawatirkan adalah potensi eskalasi tarif yang akan datang. Meskipun telah ada upaya untuk meredakan ketegangan, seperti penangguhan tarif sementara, fondasi sengketa belum sepenuhnya terselesaikan. Baik AS maupun Uni Eropa masih memiliki “hak” di bawah keputusan WTO untuk menerapkan tarif tambahan. Mereka bisa melakukannya jika merasa pihak lain tidak mematuhi putusan dalam perang dagang mereka.
Khususnya, ancaman kenaikan tarif pada pesawat terbang menjadi sorotan. Jika ketegangan memuncak, tarif pada pesawat Airbus bisa melonjak dari 15% menjadi angka yang jauh lebih tinggi. Bahkan bisa mencapai 25% atau lebih. Kenaikan drastis ini akan secara signifikan menaikkan biaya maskapai penerbangan di AS yang bergantung pada Airbus. Ini akan diteruskan kepada konsumen dalam bentuk harga tiket yang lebih mahal. Maskapai-maskapai yang sudah babak belur akibat pandemi akan semakin tertekan. Mereka berpotensi mengurangi frekuensi penerbangan atau bahkan menunda ekspansi armada.
Namun, bukan hanya pesawat yang berada di garis bidik. Industri minuman beralkohol, khususnya wiski, juga menjadi target empuk dalam skenario perang dagang yang di perburuk. Wiski Scotch dari Skotlandia dan wiski Irlandia, misalnya, adalah komoditas ekspor bernilai tinggi ke pasar AS. Kenaikan tarif, yang bisa mencapai 25% atau lebih, akan membuat harga produk-produk ini melambung tinggi di rak-rak toko Amerika. Hal ini tidak hanya merugikan produsen wiski Eropa yang akan melihat penurunan permintaan, tetapi juga konsumen AS yang terbiasa menikmati minuman premium ini. Sebaliknya, jika Uni Eropa memutuskan untuk memperluas target tarifnya, wiski Bourbon dari AS bisa menjadi sasaran. Ini memberikan pukulan telak bagi industri minuman keras Amerika.
Dampak Domino Perang Dagang pada Ekonomi Global
Dampak dari perang dagang ini jauh melampaui industri pesawat dan minuman beralkohol. Kenaikan tarif menciptakan ketidakpastian bagi bisnis, menghambat investasi, dan merusak kepercayaan pasar. Perusahaan-perusahaan terpaksa mempertimbangkan kembali strategi rantai pasok mereka. Mereka mencari pemasok alternatif atau bahkan memindahkan produksi, yang semuanya membutuhkan biaya besar dan waktu.
Konsumen di kedua belah pihak akan merasakan dampaknya melalui harga barang impor yang lebih tinggi. Ini mengurangi daya beli mereka. Selain itu, ada risiko efek domino di mana negara-negara lain mungkin akan ikut campur atau terpengaruh, mengubah dinamika perdagangan global secara keseluruhan. Fenomena ini menunjukkan dampak dari perang dagang transatlantik yang bermula dari sengketa tarif.
Lebih dari itu, perang dagang ini juga mengikis kredibilitas dan efektivitas WTO sebagai arbiter sengketa perdagangan global. Ketidakmampuan atau keengganan pihak-pihak untuk mencapai kesepakatan damai melalui kerangka WTO dapat memperburuk sistem perdagangan multilateral dan mendorong proteksionisme.
Mencari Jalan Keluar: Negosiasi dan Solusi Jangka Panjang Perang Dagang
Meskipun retorika politik terkadang keras, ada pemahaman mendalam di antara para pemimpin bahwa perang dagang berkepanjangan tidak menguntungkan siapa pun. Diskusi bilateral dan multilateral terus berlangsung, dengan harapan mencapai solusi yang di negosiasikan. Kunci untuk meredakan ketegangan ini adalah kesediaan kedua belah pihak untuk berkompromi mengenai isu-isu mendasar terkait subsidi pesawat. Komitmen untuk mengatasi sengketa melalui dialog daripada eskalasi tarif juga penting.
Penyelesaian yang langgeng akan membutuhkan lebih dari sekadar penangguhan tarif sementara; ia memerlukan reformasi struktural dalam praktik subsidi. Juga, kerangka kerja yang lebih kuat untuk mengatasi sengketa dagang di masa depan sangat di perlukan. Hanya dengan begitu, hubungan dagang transatlantik yang krusial ini dapat kembali ke jalur pertumbuhan dan kerja sama. Ini mencegah tarif dari langit hingga ke gelas, yang pada akhirnya merugikan semua pihak dalam konteks perang dagang ini.







