Fenomena “anak dengan ekor busuk” (rotten tail children) yang mengkhawatirkan kembali mengguncang China. Istilah provokatif dan kelam ini tidak merujuk pada kondisi medis atau cacat lahir. Namun menunjukkan realitas pahit yang generasi muda terdidik hadapi di negara itu. Fenomena ini muncul sebagai petaka baru. Simbol dari krisis pasar tenaga kerja yang kian parah. Dan mimpi buruk bagi jutaan sarjana baru yang kesulitan mencari pekerjaan yang layak.
Secara eksplisit, masyarakat menujukan istilah “anak dengan ekor busuk” kepada para lulusan perguruan tinggi. Atau pekerja muda, yang terpaksa menerima kenyataan pahit bekerja di luar keahlian mereka. Mendapatkan bayaran yang sangat rendah, atau bahkan harus kembali bergantung secara finansial kepada orang tua mereka setelah menyelesaikan pendidikan tinggi.
Akar Masalah: Kontradiksi Pendidikan dan Pasar
Fenomena “ekor busuk” ini berakar dari situasi ekonomi yang kontradiktif di China. Selama beberapa dekade, pendidikan tinggi dipandang sebagai jaminan menuju kehidupan yang sukses. Namun, gelombang lulusan sarjana yang membeludak dalam beberapa tahun terakhir telah melampaui kemampuan pasar. Tenaga kerja untuk menyerap mereka dalam posisi yang sesuai dengan kualifikasi.
Di sisi lain, China mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi. Ketegangan geopolitik, perubahan regulasi domestik di sektor teknologi, dan gelombang PHK massal di raksasa-raksasa teknologi dan manufaktur seperti Alibaba, Tencent, dan ByteDance, memperburuk kondisi ini. Akibatnya, sektor-sektor yang sebelumnya menjadi penyerap utama tenaga kerja muda, seperti startup dan pendidikan, kini menyusut drastis.
Kondisi ini menciptakan jurang pemisah yang dalam: suplai tenaga kerja terdidik sangat tinggi. Tetapi permintaan untuk posisi profesional yang stabil justru menurun.
Sarjana Menjadi Penyortir Paket
Kisah-kisah nyata dari para “anak ekor busuk” ini banyak beredar di media sosial China, seperti Weibo dan Xiaohongshu. Salah satunya adalah pengalaman Chen Yuyan, 26 tahun. Sebagai lulusan vokasi yang seharusnya memiliki keahlian spesifik. Chen pada akhirnya harus menerima pekerjaan sebagai petugas sortir paket di sebuah agen kurir dengan gaji yang tidak memadai.
“Banyak perusahaan mencari kandidat yang sudah berpengalaman—orang-orang yang bisa langsung bekerja. Sebagai lulusan baru, kami tidak punya cukup pengalaman,” keluh Chen. “Mereka sering mengatakan tidak memiliki sumber daya untuk melatih karyawan baru, dan gaji yang ditawarkan sangat rendah.”
Senada dengan Chen, banyak sarjana muda lainnya terpaksa mengubur dalam-dalam gelar mereka dan menerima pekerjaan di sektor informal atau pekerjaan kasar yang tidak membutuhkan pendidikan tinggi. Mereka menghadapi tekanan ekonomi tanpa memiliki jaringan atau pengalaman kerja yang memadai, yang sebelumnya bisa menjadi penyelamat dalam situasi sulit.
Mengadopsi Istilah dari Krisis Properti
Publik mengadaptasi istilah “anak dengan ekor busuk” ini sendiri dari sebutan “gedung ekor busuk” (rotten tail building). Istilah aslinya merujuk pada proyek perumahan mangkrak dan terbengkalai yang menjadi beban ekonomi dan sosial China sejak krisis properti merebak pada tahun 2021.
Sama seperti proyek perumahan yang ditinggalkan, para lulusan muda ini kini dianggap sebagai “beban” ekonomi yang tidak dapat diintegrasikan secara efektif ke dalam sistem profesional, membuat mereka merasa kehilangan arah dan kepercayaan diri. Bagi banyak dari mereka, kerja keras dan pendidikan tinggi tak lagi menjamin kestabilan finansial.
Eli Friedman, seorang profesor Global Labor and Work di Cornell University, menyoroti bahwa fenomena ini juga dipengaruhi oleh pergeseran budaya kerja. Generasi muda kini semakin enggan menerima jam kerja yang brutal (996 culture) dan memilih untuk “berbaring datar” (lying flat) atau mencari pekerjaan dengan intensitas rendah. Namun, pada kasus “ekor busuk,” pilihan ini seringkali adalah satu-satunya jalan keluar akibat ketiadaan opsi yang layak.
Baca Juga : Gencatan Senjata Perang Rusia-Ukraina: Pertemuan di Budapest
Ironi Kekurangan Tenaga Terampil
Ironi terbesar di tengah krisis pengangguran sarjana ini adalah fakta bahwa China masih menghadapi kekurangan tenaga kerja terampil di sektor manufaktur. Laporan dari Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi China memperkirakan bahwa negara itu akan kekurangan sekitar 30 juta pekerja terampil di 10 sektor manufaktur utama pada tahun 2025.
Hal ini menunjukkan adanya ketidakcocokan keahlian yang parah. Sistem pendidikan tinggi China sukses mencetak jutaan sarjana dengan gelar akademis, tetapi gagal memenuhi kebutuhan industri akan pekerja teknis yang memiliki keterampilan praktis dan spesifik. Selama pemerintah atau regulator tidak mengatasi ketidaksesuaian struktural ini, petaka “anak dengan ekor busuk” akan terus membayangi masa depan ekonomi dan sosial generasi muda China.







