,

Sejarah Gelap “Petrus”: Operasi Penembak Misterius di Indonesia

oleh -188 Dilihat
Operasi Petrus 1983-1985 menewaskan ribuan orang di Indonesia. Pelanggaran HAM berat ini menciptakan ketakutan massal di bawah Orde Baru.

Istilah Petrus di Indonesia merujuk pada sebuah babak kelam dalam sejarah Orde Baru: Penembak Misterius. Ini bukan nama orang, melainkan serangkaian operasi brutal di luar hukum yang terjadi pada awal 1980-an. Targetnya adalah individu yang dicap preman atau residivis, yang kemudian ditemukan tewas mengenaskan, tanpa identitas pelaku yang jelas, meninggalkan trauma mendalam dan pertanyaan besar tentang keadilan.

Memicu Ketakutan di Era Orde Baru

Operasi Petrus berlangsung di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, diperkirakan antara tahun 1983 hingga 1985. Pada masa itu, pemerintah mengklaim adanya lonjakan angka kriminalitas, khususnya premanisme dan kekerasan jalanan, yang dianggap mengancam stabilitas dan ketertiban sosial. Rezim Orde Baru, yang dikenal dengan pendekatan keamanan yang represif dan militeristik, melihat fenomena ini sebagai gangguan serius.

Tujuan utama Petrus adalah menekan angka kejahatan secara drastis dan menciptakan efek jera di kalangan pelaku kriminal. Filosofinya adalah menanamkan rasa takut yang mendalam agar para preman berpikir dua kali sebelum beraksi. Pendekatan ini sepenuhnya mengabaikan proses hukum yang seharusnya berlaku, seperti penangkapan, penyelidikan yang transparan, dan pengadilan yang adil. Ini adalah bentuk penegakan hukum di luar jalur formal yang sah, sebuah tindakan yang sarat akan pelanggaran hak asasi manusia.

Modus Operandi Keji yang Tersembunyi

Ciri khas operasi Petrus sangatlah mengerikan dan terorganisir:

  • Eksekusi di Luar Hukum: Para korban ditembak mati secara brutal di tempat umum, atau diculik kemudian ditemukan tewas mengenaskan di lokasi terpencil. Tak ada surat penangkapan, tak ada persidangan, apalagi putusan hakim.
  • Identitas Pelaku yang “Misterius”: Para penembak selalu tidak teridentifikasi. Tidak ada pihak yang secara resmi mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan ini, meskipun desas-desus dan laporan intelijen kuat menunjuk pada keterlibatan aparat keamanan negara.
  • Kekerasan Berlebihan sebagai Pesan: Mayat korban sering ditemukan dengan luka tembak parah, bahkan ada tanda-tanda penyiksaan atau penganiayaan. Ini bukan sekadar pembunuhan, melainkan upaya untuk mengirimkan pesan teror yang jelas dan menakutkan kepada masyarakat luas, khususnya mereka yang bergerak di dunia hitam.
  • Teror Massal dan Eksodus Preman: Operasi ini sukses menciptakan ketakutan luar biasa di kalangan preman dan residivis. Banyak dari mereka yang mendadak “menghilang”, memilih untuk bersembunyi di pedesaan, atau bahkan meninggalkan kota demi menyelamatkan nyawa. Jalanan menjadi lebih “bersih” dari premanisme, namun dengan harga ketakutan massal.

Ribuan Nyawa Melayang dan Pengakuan Terselubung

Jumlah pasti korban Petrus tidak pernah diumumkan secara resmi oleh pemerintah. Namun, berbagai perkiraan dari lembaga hak asasi manusia dan hasil penelitian independen menunjukkan angka yang sangat mengejutkan dan mengerikan:

  • Pada tahun 1983 saja, diperkirakan lebih dari 2.000 orang tewas akibat operasi ini.
  • Secara keseluruhan, sepanjang periode 1983-1985, beberapa sumber menyebutkan bahwa angka korban bisa mencapai lebih dari 10.000 jiwa di seluruh Indonesia, meskipun angka ini masih terus menjadi subjek penelitian dan perdebatan di kalangan sejarawan dan aktivis HAM.

Para korban sebagian besar adalah individu yang memiliki catatan kriminal, bertato, atau memiliki penampilan yang umum diasosiasikan dengan dunia premanisme. Mereka diambil paksa, dieksekusi, dan dibuang begitu saja.

Baca Juga : Sergey Ponomarenko: Kisah Misteri Penjelajah Waktu dari Kyiv yang Tak Terpecahkan

Kontroversi seputar Petrus semakin memanas setelah Presiden Soeharto, dalam buku otobiografinya, “Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya” (1989), secara terselubung mengakui peran pemerintah dalam operasi tersebut. Ia menyatakan, “Lalu, ada yang bilang penembak misterius. Itu dulu. Sekarang tidak ada lagi. Dulu, kita ini, banyak sekali, preman-preman itu, saya lihat. Nah, itu yang kita coba. Kita, ya, mencoba memberantas, ya, memberantas itu yang, ya, penjahat.

Tapi, bukan berarti kita menembak mati itu, bukan. Artinya, kalau mereka melawan, ya kita tembak. Tapi, yang bukan penjahat, ya tidak. Itu kan ada yang kita, ya, kita tembak begitu saja. Itu yang, ya, saya kira, bukan.” Pengakuan ini, walau samar dan berdalih “melawan”, secara tidak langsung mengindikasikan adanya lampu hijau dari pucuk kekuasaan untuk tindakan di luar koridor hukum demi memberantas kejahatan.

Warisan Pahit Pelanggaran HAM Berat

Petrus memang sempat menekan angka kriminalitas secara drastis dalam waktu singkat, menciptakan rasa “aman” yang semu di tengah masyarakat. Namun, dampaknya terhadap tatanan hukum dan hak asasi manusia sangatlah parah:

  • Pelanggaran HAM Berat: Petrus adalah salah satu contoh paling gamblang dari pelanggaran hak asasi manusia berat di masa Orde Baru, berupa pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killings) yang tidak bisa dibenarkan.
  • Meruntuhkan Supremasi Hukum: Operasi ini secara fundamental meruntuhkan prinsip-prinsip dasar negara hukum, di mana setiap individu, terlepas dari latar belakangnya, berhak atas proses peradilan yang adil dan perlindungan dari kekerasan sewenang-wenang oleh negara.
  • Trauma Kolektif dan Luka yang Menganga: Menyisakan trauma mendalam di masyarakat, terutama bagi keluarga korban yang hingga kini tidak pernah mendapatkan keadilan, penjelasan resmi, atau pengakuan atas penderitaan mereka.
  • Preseden Berbahaya: Menciptakan preseden buruk bahwa kekuasaan negara dapat digunakan di luar batas hukum untuk mencapai tujuan tertentu, sebuah pola yang bisa terulang jika tidak ada pembelajaran dari sejarah.

Hingga hari ini, kasus Petrus belum pernah tuntas di meja hijau. Para pelakunya tidak pernah diadili, dan keadilan bagi para korban serta keluarga mereka masih menjadi tuntutan. Sejarah Petrus adalah pengingat pahit akan bahaya kekuasaan yang absolut dan pentingnya penegakan hukum yang berkeadilan, menjunjung tinggi hak asasi manusia, serta memastikan akuntabilitas negara. Ini adalah pelajaran krusial agar tragedi serupa tidak terulang di masa depan.

No More Posts Available.

No more pages to load.