Retret pelajar di Sukabumi yang digelar pada Jumat, 27 Juni 2025, di kawasan Cidahu, berakhir mencekam setelah ratusan warga setempat datang dan memaksa membubarkan kegiatan tersebut. Sekitar 35 pelajar Kristen mengikuti sebuah retret di rumah singgah milik Maria Veronica Ninna. Retret tersebut berlangsung di sebuah vila yang berada di Kampung Tangkil, Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Warga Menggeruduk Retret Pelajar di Sukabumi
Awalnya, kegiatan retret pelajar di sukabumi berjalan tenang seperti biasa. Para pelajar mengadakan ibadah, diskusi rohani, dan kegiatan keagamaan dalam suasana damai. Namun pada sore hari, sekitar 200 warga lokal mendatangi vila tersebut, mendesak penghentian kegiatan yang mereka anggap tidak berizin.
Menurut pemilik vila, mereka memasang sebuah salib besar di lokasi tersebut pada April 2025. Pemasangan ini memicu ketegangan dan reaksi dari sebagian warga. Meski kegiatan ini bersifat internal dan tertutup, massa tetap memaksa masuk. Bentrokan kecil pun terjadi ketika pihak vila mencoba menenangkan massa. Warga menghentikan kegiatan secara paksa. Pihak keamanan desa mengevakuasi para pelajar ke tempat aman.
Kerugian atas Peristiwa ini
Insiden retret pelajar di Sukabumi yang digeruduk massa secara paksa menyebabkan kerugian fisik. Berdasarkan laporan, massa merusak sejumlah fasilitas vila, antara lain:
-
Kaca jendela dan pintu pecah.
-
Seseorang merusak pagar rumah.
-
Beberapa sepeda motor peserta retret mengalami kerusakan.
-
Massa mencabut sebuah salib besar di depan rumah secara paksa dan membuangnya.
Lebih dari itu, para peserta—yang sebagian besar masih remaja—mengalami trauma psikologis akibat kekerasan massa. Beberapa dari mereka menangis dan shock, bahkan sempat tidak bisa tidur karena ketakutan.

Komnas HAM dan Kemenag Bereaksi Keras
Peristiwa Retret pelajar di Sukabumi ini langsung mendapat perhatian dari Komnas HAM. Melalui pernyataan resminya, Komnas HAM mengecam keras tindakan pembubaran paksa tersebut. Lembaga ini menyatakan insiden tersebut melanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan, yang dijamin oleh konstitusi dan Deklarasi Universal HAM.
Komnas HAM juga mengirim tim pemantau langsung ke lokasi guna mengumpulkan fakta lapangan. Mereka menekankan bahwa kita tidak boleh membiarkan tindakan intoleransi seperti ini berulang. Tindakan ini akan mengancam keberagaman dan harmoni sosial. Kementerian Agama menyatakan bahwa kelompok masyarakat tanpa dasar hukum tidak boleh mengintervensi kegiatan keagamaan. Kemenag menyebutkan mereka akan memperkuat pendekatan mediasi lintas agama dan sistem deteksi dini konflik (early warning system).
Gubernur Jabar dan Pejabat Politik Ikut Bicara
Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, dalam pernyataan resminya menyebut bahwa Jawa Barat adalah provinsi yang menjunjung tinggi toleransi. Ia meminta kepolisian menindak tegas pelaku pengrusakan dan menjamin keamanan semua kegiatan keagamaan, termasuk minoritas.
Selain itu, sejumlah anggota DPR RI, seperti Sarifuddin Sudding dari Fraksi PAN, juga mengecam insiden ini. Ia menyebut tindakan main hakim sendiri adalah bukti lemahnya supremasi hukum. “Kalau warga seenaknya membubarkan kegiatan agama, maka negara ini akan jatuh dalam kekacauan,” katanya dalam wawancara media nasional.
Baca juga : Fadli Zon Tuai Kecaman Soal Pemerkosaan Massal 1998, Publik Bereaksi Keras
Tindakan Polisi: 7 Orang Jadi Tersangka
Kepolisian Resor Sukabumi bergerak cepat. Setelah penyelidikan intensif, polisi menetapkan 7 orang warga sebagai tersangka dalam insiden retret pelajar di sukabumi tersebut. Pihak berwewenang menjerat mereka dengan pasal perusakan, perbuatan tidak menyenangkan, dan pelanggaran terhadap kebebasan beribadah.
Namun, polemik muncul setelah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mengusulkan penangguhan penahanan terhadap para tersangka. Mereka melakukan ini demi menjaga keseimbangan sosial dan mendorong mediasi. Hal ini menuai respons beragam dari publik dan aktivis hak asasi manusia.
Kapolres Sukabumi menyatakan bahwa proses hukum tetap berjalan, namun tetap membuka ruang mediasi selama tidak mengganggu proses keadilan.
Kesimpulan
Insiden retret pelajar di Sukabumi menjadi pengingat penting bahwa tantangan toleransi masih nyata di lapangan. Meski Indonesia secara konstitusi menjamin kebebasan beragama, praktik di masyarakat masih rentan terhadap tindakan intoleran, terutama bila tidak ada pemahaman lintas iman dan penegakan hukum yang kuat.
Kasus ini juga menjadi uji nyali aparat, pemerintah daerah, dan pusat untuk tidak tunduk pada tekanan kelompok intoleran, serta memastikan semua warga—apapun keyakinannya—dapat beribadah dan berkumpul secara damai di tanah airnya sendiri.







