,

Ramai Dikecam Netizen, Rumah Subsidi 18 Meter Dinilai Tak Layak Huni

oleh -31 Dilihat
Desain mock up rumah subsidi ukuran 18 meter
Desain mock up rumah subsidi ukuran 18 meter persegi yang dipamerkan oleh Lippo Group di Lobby Nobu Bank Plaza Semanggi

Wacana pemerintah soal desain baru Rumah Subsidi berukuran hanya 18 meter persegi tengah menuai sorotan tajam. Gagasan ini disampaikan dalam rancangan peraturan terbaru yang bertujuan memperluas kepemilikan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, bukan pujian yang datang, melainkan kritik keras dari masyarakat, pakar perumahan, ahli kesehatan masyarakat, hingga asosiasi arsitek.

Desain hunian mungil tersebut rencananya berdiri di atas lahan seluas 25 meter persegi dengan bangunan berukuran hanya 18 meter persegi. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menjelaskan bahwa rancangan ini ditujukan untuk efisiensi lahan dan memberi kesempatan lebih luas kepada warga yang belum memiliki tempat tinggal. Namun kenyataan di lapangan berkata lain.

Netizen: “Mirip Kamar Kos, Bukan Rumah Keluarga”

Respon dari warganet muncul dalam berbagai bentuk protes di media sosial. Banyak yang menyamakan konsep hunian tersebut dengan kamar kos atau bahkan kandang. Unggahan visual denah dan foto contoh unit hunian 18 m² viral dengan komentar seperti, “Masa rumah keluarga cuma segini?” atau “Ini rumah subsidi atau tempat darurat pas bencana?”

Banyak pengguna X (dulu Twitter) dan TikTok membuat konten reaksi bernada sindiran. Beberapa mengangkat ironi betapa beratnya hidup rakyat kecil, harus menerima hunian mikro dengan fasilitas terbatas namun tetap dibebani cicilan.

Ahli Arsitektur: Ruang Terlalu Sempit, Tak Sesuai Standar

Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Ahmad Djuhara, menyatakan bahwa Rumah Subsidi berukuran sekecil itu tidak bisa dikategorikan layak huni. Menurutnya, standar minimum ruang tinggal yang manusiawi menurut World Health Organization (WHO) adalah sekitar 9 m² per orang. Dengan demikian, rumah 18 m² hanya cocok ditinggali oleh satu orang dewasa, bukan satu keluarga.

“Konsep hunian harus memenuhi aspek sosial, psikologis, dan fungsional. Kalau terlalu sempit, itu akan menciptakan tekanan mental dan konflik domestik,” ujar Ahmad dalam wawancara dengan media nasional.

Pendapat serupa diungkapkan pengamat arsitektur dari ITS, Ir. Andi Subagyo. Ia menyebut rumah subsidi dengan ukuran di bawah 30 m² akan sulit berkembang. “Masyarakat butuh rumah yang bisa diperluas, bukan ruang tertutup yang padat sejak awal,” ujarnya.

Ahli Kesehatan: Bisa Picu Gangguan Psikologis

Ahli kesehatan masyarakat, Dr. Ervina Wulandari, menjelaskan bahwa hunian sempit dalam jangka panjang dapat berdampak buruk pada kesehatan mental dan fisik penghuninya. “Ruang terbatas meningkatkan stres, konflik antaranggota keluarga, dan berdampak pada kualitas tidur serta produktivitas,” jelasnya.

Selain itu, risiko penyakit juga meningkat jika sirkulasi udara dan pencahayaan alami minim, yang umumnya terjadi di rumah subsidi berukuran sangat kecil.

Developer Ragu, Sebut Sulit Dijual

Sementara itu, sejumlah pengembang yang tergabung dalam asosiasi Real Estate Indonesia (REI) dan Apersi menyatakan keraguan terhadap rencana tersebut. Ketua Umum Apersi, Junaidi Abdillah, mengatakan bahwa rumah dengan ukuran tersebut sulit dipasarkan meskipun tergolong murah.

“Pasarnya memang untuk masyarakat berpenghasilan rendah, tetapi kebutuhan mereka tetap butuh fungsi ruang dasar: tidur, makan, mandi, dan interaksi keluarga. Di rumah 18 m² itu mustahil semua bisa dilakukan dengan nyaman,” jelasnya.

Pihak pengembang juga khawatir konsep ini akan memperburuk persepsi masyarakat terhadap program Rumah Subsidi yang seharusnya menjadi solusi, bukan masalah baru.

Pemerintah: Masih Tahap Uji Publik

Menanggapi kontroversi ini, Kementerian PUPR menyatakan bahwa rancangan tersebut masih dalam tahap uji publik. Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian PUPR menyebutkan bahwa masukan dari masyarakat akan menjadi pertimbangan dalam finalisasi regulasi.

“Kami membuka ruang diskusi. Ini bukan keputusan final. Justru respons publik seperti ini membantu kami mengevaluasi,” katanya dalam sebuah forum diskusi daring.

Menurutnya, desain awal memang ditujukan bagi segmen masyarakat lajang atau keluarga kecil yang baru membentuk rumah tangga. Ia menyatakan bahwa nantinya akan ada pilihan perluasan jika penghuni membutuhkan ruang tambahan.

Baca Juga : Wajah Baru Stasiun Tanah Abang Resmi Diperkenalkan, Lebih Modern dan Nyaman

Alternatif Rumah Layak: Minimal 36 Meter Persegi

Sebagai solusi, banyak pihak mendorong pemerintah untuk tetap mempertahankan standar minimal luas bangunan sekitar 36–40 m² sebagai batas dasar rumah yang manusiawi. Skema rumah tumbuh—yakni rumah yang bisa dikembangkan secara vertikal atau horizontal—dinilai lebih ideal dibanding memangkas ruang sejak awal.

Selain itu, alternatif Rumah Subsidi berbasis rumah susun (rusun) juga kembali diusulkan, khususnya di daerah padat penduduk dan lahan terbatas. Model ini memungkinkan efisiensi lahan namun tetap menjaga kualitas hidup warga.

Beberapa pengamat juga menyarankan penguatan skema pembiayaan seperti pemanfaatan dana BP Tapera dan BPJS Ketenagakerjaan melalui Manfaat Layanan Tambahan (MLT) agar masyarakat bisa membeli rumah yang benar-benar layak huni.

Penutup

Polemik Rumah Subsidi berukuran 18 meter ini menunjukkan bahwa kebutuhan dasar seperti hunian tidak bisa dilihat dari sisi efisiensi ekonomi semata. Aspek sosial, psikologis, dan kesehatan penghuninya harus jadi prioritas. Pemerintah diharapkan dapat mengevaluasi kembali rencana ini demi mewujudkan hunian yang tidak hanya terjangkau, tetapi juga layak dan manusiawi.