Sebuah ironi yang mendalam tengah menghadapi dunia pendidikan tinggi Indonesia. Mahasiswa, yang seharusnya menjadi agen perubahan dan benteng pemikiran kritis, kini justru terlihat bergerak menjauh dari fondasi intelektualnya filsafat. Di tengah gemuruh revolusi industri dan tuntutan pasar kerja, publik/mahasiswa/banyak pihak pelan-pelan menganggap ilmu yang mengajarkan kita untuk meragukan dan bertanya ini tidak relevan.
Fenomena ini bukan sekadar tren akademis, melainkan cerminan dari krisis berpikir kritis yang serius. Pertanyaan “Untuk apa filsafat? Pertanyaan “Tidak bisa dipakai cari kerja,” digaungkan (atau disebarkan) di banyak kampus. Mahasiswa kini memilih jalur praktis; mereka mengutamakan cepat lulus, mengumpulkan banyak sertifikat, dan mendapatkan pekerjaan dengan cepat. Akibatnya, terjadi pergeseran drastis: Sistem pendidikan hanya mengukur pencapaian melalui kecepatan dan angka, dan mengabaikan kemampuan berpikir reflektif dan mendalam.
Mahasiswa yang Pandai Teknis, Miskin Refleksi
Orientasi praktis ini menghasilkan generasi mahasiswa yang pandai secara teknis, tetapi miskin refleksi. Mereka mampu menguasai algoritma kompleks, tetapi gagal mempertanyakan etika di balik teknologi yang mereka ciptakan. Cakap dalam analisis ekonomi, tetapi abai terhadap isu keadilan sosial. Mereka aktif dalam politik kampus, tetapi kehilangan kedalaman untuk menggugat moralitas kekuasaan.
Inilah wajah krisis kritis hari ini: mahasiswa yang cerdas secara hard skill, vokal dalam media sosial, namun kehilangan arah dan kedalaman berpikir. Mereka sibuk mengumpulkan alat, tetapi lupa merumuskan tujuan hidup dan keberadaannya dalam masyarakat.
Iklim kampus yang, secara tidak sadar, ikut mendukung orientasi teknis semata memperparah kondisi ini. Ketika kurikulum dan kebijakan perguruan tinggi lebih menitikberatkan pada hasil yang terukur (output) seperti jumlah publikasi, peringkat akreditasi, dan kesiapan kerja (employability), kampus sesungguhnya telah kehilangan jiwanya. Perguruan tinggi seharusnya menjadi ruang suci di mana mahasiswa mencari kebenaran tanpa prasangka, bukan sekadar pabrik penghasil tenaga kerja massal.
Ketika kampus memprioritaskan fungsi sebagai pelatihan vokasi daripada sebagai institusi pencerahan, ia telah memangkas sayap imajinasi dan nalar kritis mahasiswanya.
Filsafat: Bukan Resep Sukses, Tapi Kompas Moral
Memang benar, filsafat tidak menjanjikan karier instan. Ia tidak menawarkan resep pasti untuk kesuksesan finansial. Namun, justru di situlah nilai esensialnya. Filsafat adalah disiplin yang mengajarkan manusia untuk menimbang sebelum bertindak, untuk mempertanyakan sebelum menerima. Ia adalah kompas moral dan intelektual yang membimbing nalar.
Dalam konteks mahasiswa, berfilsafat berarti membangun kesadaran kritis. Kemampuan fundamental untuk bertanya secara radikal, meragukan asumsi, dan menilai suatu pandangan dengan nalar yang terstruktur. Ini bukan sekadar keterampilan akademik, melainkan bentuk pertanggungjawaban kemanusiaan.
Filsuf terkemuka, Theodor Adorno, pernah memberikan peringatan keras. Ia mengatakan, pendidikan yang gagal menumbuhkan kemampuan berpikir kritis justru membuka jalan bagi kekerasan, intoleransi, dan ketidakadilan. Tanpa kesadaran kritis, manusia rentan menjadi alat sistem yang menjalankan perintah tanpa mempertanyakan konsekuensinya, bukan menjadi penggerak perubahan yang sadar akan kondisi lingkungannya.
Menemukan Kembali Keberanian untuk Bertanya
Untuk mengatasi krisis ini, kita harus berhenti melihat filsafat hanya sebagai mata kuliah pelengkap atau sisa-sisa sejarah. Pendidikan tinggi harus mengembalikan filsafat ke posisinya sebagai fondasi dan metode berpikir yang meresap ke dalam setiap disiplin ilmu.
Mahasiswa belajar ekonomi harus didorong untuk merenungkan, “Apakah sistem ini adil bagi semua?”, bukan hanya, “Bagaimana cara menghasilkan untung terbesar?”. Mahasiswa teknologi harus bertanya, “Apa implikasi moral dari produk yang saya ciptakan?”, bukan hanya, “Bagaimana cara membuatnya berfungsi?”.
Proses ini membutuhkan keberanian. Berfilsafat menuntut mahasiswa untuk berani sadar akan realitas diri, masyarakat, dan kemanusiaan di sekitarnya. Ini bukan soal menghafal konsep-konsep kuno, melainkan soal berani mengakui ketidaktahuan, dan dari sana, memulai perjalanan mencari pengetahuan yang lebih autentik.
Pendidikan tinggi harus berbenah diri. Jika kampus hanya menghasilkan lulusan yang cerdas secara teknis tetapi tidak mampu menggunakan nalar kritisnya untuk menilai realitas, maka mereka hanya menghasilkan robot yang dioperasikan oleh sistem, bukan manusia seutuhnya.
Baca Juga : Viral Maba Disuruh Cium Kening, Unsri Bentuk Tim Investigasi dan Bekukan Himpunan Mahasiswa
Maka, sudah saatnya kita menegaskan: filsafat bukan “ilmu yang tak diperlukan.” Ia adalah jantung dari pendidikan yang sejati, alat vital yang menjamin mahasiswa tidak hanya survive dalam pekerjaan, tetapi juga mampu menentukan makna dan arah bagi kehidupannya dan bagi bangsanya. Pendidikan sejati terletak pada penemuan kembali keberanian untuk bertanya: Cogito, ergo sum—Aku berpikir, maka aku ada. Dan keberadaan yang berharga adalah keberadaan yang kritis.
