Warga Thailand Dirikan Bunker, Antisipasi Konflik di Perbatasan Kamboja

oleh -25 Dilihat
LOKASI EVAKUASI DARURAT - Sebuah sekolah di Ban Kruat, Buri Ram, menggelar latihan perlindungan bom bagi siswa guna mengantisipasi ketegangan militer dengan Kamboja.
LOKASI EVAKUASI DARURAT - Sebuah sekolah di Ban Kruat, Buri Ram, menggelar latihan perlindungan bom bagi siswa guna mengantisipasi ketegangan militer dengan Kamboja.

NUSASUARA.COM, BANGKOK – Warga Thailand dirikan bunker perlindungan di wilayah perbatasan Thailand-Kamboja sebagai langkah antisipasi menghadapi kemungkinan pecahnya perang antara kedua negara.

Kekhawatiran akan konflik bersenjata meningkat di kalangan warga Thailand yang tinggal di daerah perbatasan, terutama di provinsi Sa Kaeo. Mereka cemas akan gangguan terhadap kehidupan sehari-hari dan mata pencaharian, serta berharap agar konflik bisa dihindari.

Ketegangan terkait klaim wilayah antara pemerintah Thailand dan Kamboja memicu penduduk setempat membangun tempat perlindungan. Kekhawatiran ini semakin besar menyusul bentrokan pada 28 Mei lalu yang menyebabkan tewasnya seorang tentara Kamboja, sekaligus memicu lonjakan sentimen nasionalisme di kedua pihak.

Penduduk mengungkapkan bahwa kebuntuan dalam upaya diplomasi dan mobilisasi militer yang terus berlangsung menjadi penyebab utama keresahan mereka.

Ucok Intarasorn, warga desa berusia 65 tahun dari distrik Kantharalak, mengaku sangat takut jika perang sewaktu-waktu meletus.

“Saya sampai tidak bisa tidur selama berhari-hari,” ujarnya.

Ucok wijit yang tinggal sekitar 62 kilometer dari lokasi peningkatan aktivitas militer, menceritakan kecemasannya sambil mendirikan bunker bersama tetangganya, Satien Chaiyapakdi, 71 tahun. Wijit sendiri pernah kehilangan satu kakinya akibat menginjak ranjau yang dipasang untuk mengamankan perbatasan.

Para tetangga memutuskan menyiapkan ruang aman di antara rumah-rumah mereka sebagai tempat berlindung jika konflik bersenjata terjadi. “Kami tidak tahu kapan ledakan akan terjadi, dan jika pertempuran terjadi, kami perlu tempat bersembunyi. Kami harus tetap tinggal di sini sampai petugas datang dan mengevakuasi kami,” kata Tn. Satien.

Selain itu, terdapat enam bunker keselamatan resmi di sebuah kuil lokal yang digunakan warga hingga tahun 2011.

Keduanya menekankan bahwa komunitas mereka berada di garis depan jika bentrokan berlanjut, karena merupakan desa terakhir sebelum perbatasan. Ketegangan yang terjadi telah berdampak signifikan pada kehidupan mereka, terutama di sektor perdagangan dan pertanian.

Warga Perbatasan Khawatir Terhadap Pertanian

Amorn Molaraj, 49 tahun, seorang warga perbatasan, menyatakan bahwa selain musim hujan yang sedang berlangsung, ketidakpastian situasi perbatasan menghambat kemampuannya menanam tanaman yang selama ini menjadi sumber penghidupan keluarganya.

“Kami ingin pejabat kami menyelesaikan masalah ini, tetapi karena kami tinggal di perbatasan, kami juga takut dampak dan kemungkinan perang,” ungkap Amorn. “Jika perang benar terjadi, bagaimana kami bisa memanen padi? Kami sudah hidup dalam kemiskinan, jadi rasa takut sangat menghantui kami.”

Menurut Amorn, salah satu sumber pendapatan warga berupa pengumpulan jamur liar kini terhenti karena ketakutan mendekati wilayah perbatasan yang rawan konflik.

Baca Juga : Kontak Tembak Militer Thailand-Kamboja di Perbatasan, 1 Tentara Tewas

Jitra Kumphan, direktur Sekolah Ban Dan Klang, mengatakan pihak sekolah segera menggelar diskusi pasca insiden 28 Mei untuk melindungi 400 siswa mereka. Sekolah menyiapkan rencana keamanan, memastikan bunker siap, dan mengadakan latihan evakuasi. Mereka juga sudah mengajukan izin penutupan sekolah sementara kepada Kantor Komisi Pendidikan Dasar jika terjadi keadaan darurat.

Suthien Piwchan, mantan pemimpin proyek “45 Tahun Tanpa Batas” yang mempelajari hubungan masyarakat di perbatasan, menyampaikan kekhawatiran jangka panjang. Ia menegaskan tidak menginginkan perang dan mengajak semua pihak untuk hidup berdampingan serta terus berkomunikasi meski ada perselisihan.

Meski menuding ada upaya Kamboja merambah wilayah Thailand, Suthien menekankan perlunya solusi resmi dan negosiasi yang adil. “Kita harus hidup berdampingan sebagai saudara, meski tinggal di negara berbeda, karena tidak ada yang menginginkan pertikaian,” tutupnya kepada BBC.

No More Posts Available.

No more pages to load.