NUSASUARA.COM – Pulau Gag, salah satu pulau di gugusan Kepulauan Waigeo, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, kembali menarik perhatian publik. Empat hari lalu, pemilik akun X, @dadardatar, mengunggah citra satelit Pulau Gag di Google Earth dan Google Maps. Dalam unggahan itu, area tambang terlihat buram, sementara wilayah lain jelas dan hampir seperti aslinya. Ia menulis, “Ulah siapa ini?”
Unggahan ini langsung memicu respons warganet. Koalisi masyarakat sipil dan komunitas netizen menelusuri dugaan pemburaman citra satelit Pulau Gag secara sengaja. Kecurigaan semakin kuat karena citra pulau yang sama di Bing Maps dan Apple Maps tampak normal.
Aktivitas Penambangan dan Status Legal Pulau
Pulau ini menjadi lokasi operasi PT Gag Nikel, anak perusahaan PT Aneka Tambang Tbk (Antam). Perusahaan tetap melanjutkan aktivitas penambangan karena pemerintah tidak mencabut izin usaha mereka. Alasannya, Pulau Gag dianggap berada di luar wilayah situs geologi dunia.
Analisis SAFENet Mengungkap Perubahan Citra
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) menganalisis citra satelit Pulau Gag menggunakan metode open source intelligence (OSINT). Peneliti membandingkan resolusi citra dari tahun ke tahun melalui fitur historical imagery Google Earth. Mereka menemukan citra pertama Pulau Gag berasal dari 1984, dengan visual sangat buram.
Pada 2013, Google Earth menampilkan citra lebih utuh, meski sebagian area tertutup awan. Direktur Eksekutif SAFENet, Nenden Sekar Arum, menjelaskan bahwa citra 1984 buram karena keterbatasan sensor satelit. Sementara citra 2013 mengalami pemburaman pasif akibat mosaik global diterapkan tanpa mengganti data berawan atau reflektif.
Sejak 2014 hingga 2023, SAFENet mendeteksi beberapa bagian Pulau Gag menempelkan citra terbaru beresolusi rendah. Meski buram, SAFENet menilai jenis ini masih pasif dan bukan intervensi aktif.
Resolusi Tinggi Kembali Ditampilkan
Sejak Oktober 2023, Google Earth menampilkan citra Pulau Gag dengan resolusi tinggi. Kepala Divisi Keamanan Digital SAFENet, Daeng Ipul, menyebutkan, “Jalan, tanah, batas vegetasi, dan kawasan terbuka kini terlihat jelas tanpa keburaman.”
Gambar ini berasal dari penyedia data satelit seperti Maxar Technologies, Airbus Defence and Space, Landsat, dan Sentinel dari Program Copernicus. Namun, pada 2023–2024, beberapa area di bagian tengah dan utara kembali menggunakan citra beresolusi rendah, menciptakan transisi visual yang tidak seragam.
SAFENet menduga pemburaman ini menggunakan vector masking dan raster masking. Vector masking memakai garis dan kurva, sedangkan raster masking memanfaatkan gambar skala abu-abu, seperti piksel awan. Keduanya mengaburkan citra Pulau Gag.
Pendapat Ahli Satelit
Muhammad Rokhis Khomaruddin, Kepala Pusat Riset Geoinformatika BRIN, menilai buramnya citra Pulau Gag akibat penggunaan data satelit beresolusi rendah. Menurutnya, setiap platform peta menyajikan data berbeda tergantung kebijakan dan ketersediaan.
“Bisa saja citra Pulau Gag di Google Earth berbeda dengan Bing Maps, meski sama-sama dari Maxar Technologies. Tinggal dilihat kapan data diambil dan berapa resolusinya,” kata Rokhis. Ia menambahkan, sebagian besar platform peta menampilkan gambar rekaman sebelumnya, bukan real-time.
Rokhis menegaskan, kasus Pulau Gag berbeda dengan pemburaman obyek vital negara, misalnya pangkalan militer. Ia mencontohkan area Kompleks Komando Pasukan Khusus di Cijantung, Jakarta Timur, yang benar-benar buram di Google Earth.
Klarifikasi Google
Jawaban datang dari Feliciana, yang menyatakan citra bisa buram karena cuaca, resolusi, usia data, atau proses teknis. “Gambar berasal dari berbagai sumber, termasuk lembaga pemerintah, organisasi survei geologi, dan penyedia citra komersial,” jelasnya.
Menurut Google Earth, platform ini memungkinkan publik menjelajahi lebih dari 36 juta mil persegi dengan gambar beresolusi tinggi. Google menekankan, citra membantu memodelkan dunia yang terus berubah dengan akurat setiap hari. Mereka menyempurnakan teknik fotogrametri untuk menyelaraskan citra dari Street View, udara, satelit, dan data resmi dengan akurasi tingkat meter.
Respons Pemerintah
Nusasuara juga meminta tanggapan Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, dan Wakil Menteri Nezar Patria. Hingga kini, belum ada respons dari pihak Kementerian.
