NUSASUARA.COM – Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menegaskan bahwa mulai Oktober 2025, seluruh anggota DPR tidak akan menerima lagi tunjangan rumah Rp50 juta per bulan. Pemerintah dan DPR sepakat menyesuaikan fasilitas dewan demi menjalankan kebijakan efisiensi anggaran negara.
Latar Belakang Penghapusan Tunjangan Rumah Rp50 Juta
Publik sejak lama menyoroti besarnya tunjangan yang DPR berikan kepada anggotanya, termasuk rumah dinas dan uang tunjangan sebesar Rp50 juta menjadi sorotan. Banyak kalangan menilai angka Rp50 juta per bulan terlalu tinggi, apalagi jika dibandingkan dengan kondisi ekonomi rakyat yang masih berjuang menghadapi tekanan biaya hidup.
Dasco menegaskan bahwa mulai Oktober 2025, DPR akan menghapus skema tunjangan rumah. Anggota yang tidak menempati rumah dinas juga tidak akan menerima uang pengganti. Dengan langkah ini, pemerintah berharap bisa menghemat anggaran negara yang selama ini dialokasikan untuk fasilitas perumahan dewan.
“Kami sudah berkomitmen. Setelah Oktober 2025, DPR tidak menerima lagi tunjangan rumah Rp50 juta per bulan. Langkah ini bagian dari penataan fasilitas agar lebih sesuai dengan prinsip efisiensi,” ujar Dasco di Jakarta.
Efisiensi Anggaran Negara
Dasco menilai langkah tersebut sebagai strategi pemerintah untuk menekan pengeluaran yang tidak urgen. Ia menjelaskan bahwa DPR memahami kondisi fiskal negara yang sedang menghadapi tekanan berat akibat pandemi, lonjakan harga energi, dan ketidakpastian ekonomi global.
“Negara harus fokus mengalokasikan anggaran ke sektor prioritas seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Karena itu, DPR wajib memberi contoh dengan memangkas fasilitas,” jelasnya sambil menegaskan penghapusan tunjangan rumah Rp50 juta.
Kebijakan penghapusan tunjangan rumah DPR yang mencapai Rp50 juta bisa menghemat anggaran hingga ratusan miliar rupiah setiap tahun. Dasco menegaskan bahwa dana tersebut lebih baik dialihkan ke program yang menyentuh kepentingan rakyat secara langsung.
Baca Juga : Polemik Tunjangan DPR: Menelusuri Akar Permasalahan dan Dampak Sosial
Respons Publik dan Tantangan Internal Tentang Tunjangan Rumah Rp50 Juta
Keputusan ini memunculkan beragam reaksi. Mayoritas publik menyambut positif langkah DPR karena melihatnya sebagai tanggung jawab moral wakil rakyat. Selama ini, isu gaji, tunjangan, dan fasilitas DPR selalu memicu kritik publik karena nilainya jauh di atas rata-rata gaji masyarakat umum.
Meski begitu, Dasco juga mengakui adanya dinamika internal. Beberapa anggota DPR keberatan karena menganggap tunjangan rumah sebagai hak jabatan. Namun, ia menegaskan bahwa keputusan ini bersifat final.
“Memang ada perdebatan. Tapi kami sepakat, keputusan ini sudah bulat. Fasilitas harus disesuaikan. Kami wakil rakyat, bukan pejabat yang boleh berfoya-foya dengan uang negara,” tegasnya.
Implikasi bagi Anggota DPR Baru
Mulai periode 2024–2029, anggota DPR baru akan merasakan dampak langsung kebijakan ini. Mereka hanya bisa menempati rumah dinas yang negara sediakan, tanpa opsi untuk menerima tunjangan rumah Rp50 juta per bulan.
Bagi anggota dari daerah jauh, kebijakan ini mungkin menimbulkan tantangan. Namun Dasco memastikan bahwa pemerintah telah menyiapkan rumah dinas representatif dengan kualitas memadai.
“Rumah dinas tersedia dan kami pastikan kualitasnya cukup baik. Jadi tidak ada alasan untuk menolak,” katanya.
Transparansi dan Akuntabilitas DPR
Dasco menilai kebijakan ini sebagai bagian dari upaya DPR memperbaiki citra di mata publik. Selama ini, DPR sering menerima kritik soal kinerja, tingkat kehadiran sidang, hingga fasilitas mewah yang tidak sebanding dengan kontribusi nyata.
Dengan memangkas tunjangan rumah, DPR berharap masyarakat melihat adanya itikad baik dalam menjalankan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi.
“Ini bukan hanya soal uang, tapi soal kepercayaan rakyat. Jika DPR bisa menunjukkan penghematan, kami berharap publik semakin percaya bahwa kami bekerja untuk mereka,” tegas Dasco.
Penutup
Penghapusan Tunjangan Rumah Rp50 Juta per bulan bagi anggota DPR setelah Oktober 2025 menandai perubahan penting dalam pengelolaan fasilitas pejabat publik. Meski kebijakan ini menimbulkan pro-kontra, langkah tersebut menunjukkan bahwa DPR mulai beradaptasi dengan tuntutan publik akan efisiensi anggaran negara.
Pertanyaannya kini, apakah kebijakan ini cukup untuk memperbaiki citra DPR yang selama ini terkikis kritik? Publik akan menilai seiring waktu, namun setidaknya DPR sudah mengambil langkah awal: wakil rakyat harus rela mengurangi fasilitas demi kepentingan rakyat yang mereka wakili.
