Empat Pulau Sengketa: Cerita Lama yang Kembali Mendidih

oleh -18 Dilihat
Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Ketek, dan Mangkir Gadang sempat menjadi sengketa antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara sebelum akhirnya diputuskan oleh Mendagri masuk wilayah Sumut pada April 2025. (Sumber: Google Maps)
Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Ketek, dan Mangkir Gadang sempat menjadi sengketa antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara sebelum akhirnya diputuskan oleh Mendagri masuk wilayah Sumut pada April 2025. (Sumber: Google Maps)

NUSASUARA.COM – Empat Pulau Sengketa: Cerita Lama yang Kembali Mendidih, Guru Besar Sosiologi Universitas Syiah Kuala, Humam Hamid, menolak keputusan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang menetapkan bahwa empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil masuk ke dalam wilayah administratif Sumatera Utara. Keempat pulau tersebut adalah Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang.

Humam menduga bahwa keputusan Menteri Dalam Negeri itu sangat dipengaruhi oleh pendekatan teknokratis dan manajemen negara yang berupaya merapikan peta wilayah dengan menggunakan pendekatan baru berdasarkan rupa bumi atau delineasi spasial. Ia menyatakan bahwa keputusan tersebut merupakan tafsir ulang negara terhadap batas wilayah yang baru muncul belakangan ini.

Melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, Tito Karnavian menetapkan bahwa keempat pulau tersebut di Kabupaten Aceh Singkil kini menjadi bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Tito menjelaskan bahwa Kementerian Dalam Negeri mengambil langkah ini karena penamaan pulau-pulau tersebut harus didaftarkan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Tito juga menyampaikan bahwa ketidaksepakatan antara Aceh dan Sumatera Utara memaksa pemerintah pusat untuk menetapkan batas wilayah laut yang disengketakan tersebut. Penetapan ini dilakukan pada tanggal 25 April 2025, setelah melalui rapat di tingkat pusat dan berdasarkan perhitungan geografis yang ada.

Menurut Tito, pemerintah pusat memang dihadapkan pada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan batas wilayah karena hal ini berdampak pada pembangunan daerah terkait. Namun, mantan Kepala Kepolisian RI ini menegaskan bahwa permasalahan perbatasan antara Aceh dan Sumatera Utara sebenarnya sudah ada sejak tahun 1928, jauh sebelum ia menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri.

Baca Juga : Geger! Kejaksaan Agung Sita Rp 11,8 Triliun Uang Korupsi dari 5 Perusahaan Wilmar Group

Tito juga menyatakan bahwa pemerintah terbuka untuk evaluasi lebih lanjut dan tidak keberatan jika ada pihak yang ingin menggugat keputusan ini secara hukum, misalnya melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pernyataan ini disampaikan Tito saat berada di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Selasa, 10 Juni 2025.

Penetapan empat pulau tersebut menjadi sorotan publik setelah Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, mengunjungi Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, di Banda Aceh pada 4 Juni 2025. Namun, pertemuan antara keduanya berlangsung singkat, meski Bobby yang juga menantu mantan Presiden Joko Widodo mengklaim telah tercapai kesepakatan bersama.

Sosiolog asal Samalanga, Aceh Utara, Humam Hamid, menegaskan bahwa secara historis tidak ada keraguan mengenai status keempat pulau itu. Menurut Humam, pulau-pulau tersebut telah lama berada di bawah pengelolaan administratif Kabupaten Aceh Singkil.

Humam menjelaskan, pernyataannya bukan sekadar narasi lokal, melainkan didukung fakta di lapangan. Di Pulau Panjang — pulau terbesar dari keempatnya — terdapat prasasti, tugu, musala, dan dermaga untuk nelayan, yang pembangunannya menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh Singkil.

Selain itu, peta topografi milik TNI Angkatan Darat juga menunjukkan bahwa keempat pulau tersebut termasuk dalam zona Aceh. Peta ini sering dijadikan acuan penyusunan batas wilayah sejak era pasca-Orde Baru. “Dalam peta teritorial militer yang lazim digunakan untuk pertahanan nasional, pulau-pulau ini tidak pernah digambarkan sebagai bagian dari Sumatera Utara,” kata Humam.

Sejarah Sengketa Empat Pulau Aceh vs Sumut

  • Ketegangan antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara terkait status empat pulau kecil di perairan barat Indonesia semakin memanas setelah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menetapkan pulau-pulau tersebut masuk wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Berikut kronologi lengkapnya:
  • 2008: Verifikasi Rupabumi menemukan bahwa dalam data Pulau Sumut (213 pulau) dan Pulau Aceh (260 pulau), keempat pulau sengketa tidak tercatat.
  • 2009: Gubernur Sumut dan Gubernur Aceh saling mengirim surat resmi terkait perubahan nama empat pulau tersebut.
  • 17 November 2017: Gubernur Aceh mengklaim keempat pulau berdasarkan Peta Topografi TNI AD 1978 masuk wilayah Aceh.
  • 30 November 2018: Kemendagri melakukan analisis spasial menggunakan ArcGIS dan menyimpulkan empat pulau tersebut secara administratif masuk Provinsi Sumatera Utara.
  • 8 Desember 2017: Surat resmi dari Direktorat Jenderal Bina Administrasi Wilayah menegaskan keempat pulau berada di wilayah Sumatera Utara.
  • 2018–2019: Gubernur Aceh mengajukan revisi koordinat dan meminta fasilitasi penyelesaian batas laut dengan Sumut.
  • 2021: Permendagri Nomor 58 Tahun 2021 resmi menetapkan kode dan data wilayah administrasi yang memasukkan empat pulau dalam cakupan Sumatera Utara setelah rapat koordinasi lintas kementerian dan lembaga terkait.
  • 13 Februari 2022: Rapat bersama Pemda Aceh dan Sumut membahas empat pulau, namun tidak menghasilkan kesepakatan.
  • 14 Februari 2022: Mendagri menerbitkan Keputusan yang menetapkan keempat pulau sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
  • April 2022: Pemerintah Aceh mengajukan somasi atas keputusan tersebut.
  • 31 Mei – 4 Juni 2022: Survei lapangan dilakukan bersama Pemerintah Pusat, Aceh, dan Sumut. Hasilnya menunjukkan pulau-pulau itu tidak berpenduduk, namun terdapat sejumlah fasilitas dan situs penting yang dibangun pemerintah Aceh dan Aceh Singkil, termasuk makam aulia yang sering dikunjungi masyarakat.
  • Pulau Lipan tercatat sebagian besar merupakan pasir putih dan terendam air saat pasang, sehingga tidak memenuhi definisi pulau menurut UNCLOS 1982 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985.
  • Dokumen Kesepakatan Bersama Tahun 1988 antara Aceh dan Sumut juga ditemukan sebagai bukti tambahan.
  • 16 Juli 2022: Gubernur Sumut kembali menegaskan bahwa empat pulau tersebut masuk wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah.

Pada masa Hindia Belanda, peta pesisir barat Sumatera dibuat secara longgar. Peta-peta kolonial lebih fokus menggambarkan daratan besar, sementara banyak pulau kecil tidak diberi nama atau hanya diberi tanda umum, kecuali yang dekat mercusuar untuk navigasi. Kawasan pesisir Singkil dan sekitarnya sudah lama memiliki hubungan sosial-ekonomi erat dengan pulau-pulau di seberangnya, termasuk praktik pelayaran rakyat dan pemanfaatan perairan untuk menangkap ikan serta berlindung dari badai. Menurut Humam Hamid, sosiolog asal Aceh, imajinasi kolektif masyarakat pesisir Singkil sampai Sibolga menganggap kawasan itu bagian dari Aceh.

Pada 1992, Gubernur Aceh Prof. Dr. Ibrahim Hasan dan Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar menandatangani kesepahaman tentang batas administrasi di wilayah Singkil dan Tapanuli, disaksikan Menteri Dalam Negeri Rudini. Kesepakatan ini didasari semangat koeksistensi dan saling menghargai ruang administratif, bukan tumpang tindih. Namun, polemik empat pulau kini dianggap tidak memperhatikan rekam jejak sosial dan perjanjian yang pernah ada. Humam menilai pemerintah pusat kehilangan konteks sejarah karena terlalu mengacu pada peta rupa bumi tanpa mempertimbangkan narasi sosial.

Akademikus IAIN Langsa, Muhammad Alkaf, menyatakan tidak pernah ada isu sengketa antara Aceh dan Sumut sebelumnya. Ia menduga sengketa ini dipicu memori kolektif lama terkait Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan ketegangan dengan pemerintah pusat. GAM yang muncul sejak 1976 akibat keresahan pengelolaan sumber daya alam oleh pemerintah pusat, memilih berdamai dan menerima otonomi khusus setelah Perjanjian Helsinki 2005. Alkaf menjelaskan bahwa bagi mantan pejuang GAM, klaim wilayah ini terasa seperti pelemahan terhadap otonomi khusus yang sudah diperoleh.

Menanggapi klaim Sumut atas empat pulau yang secara historis bagian dari Aceh, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian enggan berkomentar lebih jauh saat konferensi pers Juni 2025. Sementara itu, Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri, Safrizal Zakaria Ali, menyatakan surat terkait penetapan kode wilayah Sumut keluar pada Juni 2022 setelah dilakukan pembakuan nama pulau.

Pembakuan nama pulau dilakukan Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi yang terdiri dari berbagai kementerian dan lembaga, termasuk TNI AD, TNI AL, BIG, Lapan, serta pemerintah daerah. Pada 2008, tim ini memverifikasi pulau-pulau di Sumut dan Aceh. Hasilnya, Sumut tercatat memiliki 213 pulau termasuk empat pulau sengketa, sementara Aceh memiliki 260 pulau tetapi keempat pulau tersebut tidak masuk dalam daftar Aceh.

Pada November 2009, Pemerintah Aceh mengirim surat konfirmasi perubahan nama dan koordinat empat pulau tersebut. Contohnya, Pulau Malelo berubah nama menjadi Pulau Lipan, serta beberapa perubahan nama dan koordinat lainnya.

Baca Juga : FIFA Club World Cup 2025: Real Madrid vs Al Hilal – Info Terkini Tim dan Prediksi Starting XI Terakhir

Juru bicara Badan Informasi Geospasial (BIG), Mone Iye Cornelia Marschiavelli, berjanji akan menanggapi pertanyaan Tempo pada Kamis malam, 12 Juni 2025, terkait klaim empat pulau di Aceh yang disampaikan Kementerian Dalam Negeri. Namun, hingga artikel ini ditulis, belum ada respons lebih lanjut dari pihaknya.

Sementara itu, Gubernur Aceh Muzakir Manaf kukuh menyatakan bahwa keempat pulau tersebut memang bagian dari Aceh. Muzakir mengungkapkan bahwa Aceh memiliki alasan, bukti, dan data kuat sejak zaman dahulu terkait klaim wilayah di pesisir itu. “Itu memang hak Aceh, jadi saya rasa itu betul-betul milik Aceh dari segi geografi, perbatasan, sejarah, dan iklim,” ujarnya usai menghadiri International Conference on Infrastructure di Jakarta Selatan, Kamis, 12 Juni 2026.

Di sisi lain, budayawan asal Aceh, Azhari Aiyub, menilai klaim empat pulau oleh pemerintah pusat mencerminkan ketidaksiapan pemerintah Aceh dalam mengelola aset wilayahnya sendiri, termasuk pulau-pulau kecil yang secara historis berada dalam pengaruh Aceh. Azhari mengatakan pemerintah Aceh tampaknya masih mempertahankan pola lama, lebih fokus pada urusan internal dan dana otonomi khusus, serta kurang memperhatikan wilayah pinggiran.

Akibatnya, kata Azhari, pemerintah Sumatera Utara justru tampil lebih siap dan agresif, apalagi dengan posisi politik Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, yang memiliki kedekatan dengan pusat kekuasaan. “Mereka memiliki dukungan yang cukup untuk memperkuat klaim administratifnya,” ungkap sastrawan dan penulis buku Kura-Kura Berjanggut ini kepada NusaSuara.