, , ,

Fadli Zon Tuai Kecaman Soal Pemerkosaan Massal 1998, Publik Bereaksi Keras

oleh -45 Dilihat
Fadli Zon memberikan pidato di acara resmi Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia
Menteri Kebudayaan Fadli Zon saat memberikan pidato dalam acara resmi kementerian. Pernyataannya soal pemerkosaan massal 1998 menuai kecaman publik.

Jakarta – Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon soal peristiwa Pemerkosaan Massal 1998 memicu kontroversi tajam dan gelombang kecaman dari publik, aktivis, serta kalangan legislatif. Dalam komentarnya yang disampaikan saat berada di Kampus IPDN, Jatinangor, Selasa (24/6/2025), Fadli Zon menyebut bahwa hingga kini belum ada fakta hukum yang kuat dan final yang membuktikan adanya kekerasan seksual secara massal dalam tragedi tersebut.

“Jadi itu harus ada fakta-fakta hukum, ada (bukti) akademik, jadi ada siapa korbannya, di mana tempatnya, mana kejadiannya, itu kan harus ada,” ujar Fadli.

Pernyataan ini sontak menyulut amarah masyarakat dan aktivis HAM, terutama para penyintas tragedi reformasi 1998. Fadli juga mempertanyakan penggunaan istilah “massal” karena menurutnya hingga saat ini belum ada data yang benar-benar konklusif terkait peristiwa tersebut. Ia menilai berbagai laporan investigatif yang selama ini dijadikan acuan, termasuk dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), belum cukup kuat sebagai bukti hukum.

Komnas HAM dan Aktivis Bereaksi

Sejumlah pihak menyatakan keprihatinan terhadap pernyataan Fadli, yang dianggap sebagai bentuk penyangkalan terhadap sejarah kelam bangsa. Hendardi, Ketua Setara Institute, meminta Fadli Zon mencabut ucapannya dan meminta maaf kepada publik, khususnya kepada para korban kekerasan seksual dan keluarganya.

“Fadli Zon harus menarik berbagai ucapannya yang menyangkal pemerkosaan massal dan pelanggaran HAM masa lalu serta segera meminta maaf kepada publik, khususnya para korban dan keluarga mereka,” kata Hendardi.

Komnas Perempuan sebelumnya juga telah mengeluarkan laporan yang menyebutkan sedikitnya 85 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, sebagian besar dari etnis Tionghoa, terjadi dalam rangkaian kerusuhan Mei 1998. Laporan ini menjadi bagian penting dari ingatan kolektif tragedi nasional tersebut.

DPR Akan Panggil Fadli Zon

Menanggapi kegaduhan publik, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan bahwa DPR melalui Komisi X akan segera memanggil Fadli Zon untuk memberikan klarifikasi. Pemanggilan ini dianggap perlu untuk meluruskan maksud dari pernyataan yang telah menimbulkan polemik.

“Komisi terkait saya dengar akan meminta menteri yang bersangkutan memberikan keterangan di DPR,” ujar Dasco di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa (24/6).

Dasco menilai pemanggilan tersebut penting agar masyarakat tidak terus berspekulasi. Ia juga membantah adanya proyek penulisan ulang sejarah oleh Kementerian Kebudayaan yang memiliki agenda tersembunyi.

“Saya pikir itu bagus untuk meng-clear-kan hal-hal yang kemudian menjadi informasi bagi masyarakat,” ujarnya.

Tuduhan Penulisan Sejarah Bermuatan Politis

Seiring kontroversi ini, muncul pula kekhawatiran terhadap proyek penulisan ulang sejarah nasional yang tengah digagas oleh Kementerian Kebudayaan. Beberapa kelompok masyarakat menilai proyek tersebut sarat akan kepentingan politik dan cenderung menutupi pelanggaran HAM di masa lalu.

Pande K. Trimayuni, mantan aktivis 1998, menilai penulisan sejarah seharusnya dipimpin oleh kalangan akademisi dan sejarawan, bukan oleh institusi negara secara sepihak. Ia menyebut proyek sejarah ini terkesan “memutihkan” peran pelaku pelanggaran HAM dan menutupi kontribusi gerakan masyarakat sipil saat reformasi.

“Terlihat dari banyak yang tidak dimunculkan, seperti melihat persoalan yang terjadi di Orde Baru sebagai hal positif saja,” kata Pande dalam konferensi pers di Graha Pena 98, Jakarta (18/6).

Menurutnya, banyak peristiwa penting yang justru dihilangkan atau diminimalkan dalam narasi sejarah versi negara, seperti gerakan perempuan, perlawanan sipil, dan tragedi pelanggaran HAM menjelang reformasi.

Pengingkaran Sejarah dan Luka Kolektif

Pernyataan Fadli Zon, bagi sebagian orang, dianggap sebagai bentuk pengingkaran sejarah. Bagi para korban, khususnya perempuan yang mengalami kekerasan seksual di masa reformasi, ucapan seperti ini membuka kembali luka lama dan menunjukkan kurangnya empati dari pejabat negara.

Tragedi Mei 1998 bukan hanya soal kerusuhan politik, tetapi juga menyangkut luka kemanusiaan yang hingga kini belum sepenuhnya dipulihkan. Ratusan warga tewas, ribuan bangunan terbakar, dan puluhan perempuan mengalami kekerasan seksual yang hingga kini belum mendapat keadilan.

Komnas Perempuan, dalam beberapa kesempatan, telah meminta negara bertanggung jawab untuk mengakui tragedi ini secara resmi, memberi restitusi, serta memastikan peristiwa serupa tak terulang lagi.

Baca Juga : Kisah Perempuan Papua di Balik Viral Save Raja Ampat: ‘Biarpun Ditangkap, Saya Tetap Berjuang

Kesimpulan

Pernyataan Fadli Zon soal pemerkosaan massal 1998 menuai kontroversi yang tidak bisa dianggap enteng. Di tengah proyek penulisan ulang sejarah oleh negara, pernyataan itu menimbulkan kekhawatiran bahwa sejarah reformasi akan disusun ulang tanpa mendengar suara korban. Pemanggilan Fadli Zon oleh DPR diharapkan dapat menjadi titik awal klarifikasi, sekaligus pengingat bahwa ingatan kolektif bangsa tidak bisa dihapus begitu saja.

No More Posts Available.

No more pages to load.