AS Serang Fasilitas Nuklir Iran: Perang Meluas di Timur Tengah

oleh
fasilitas nuklir Iran
fasilitas nuklir Iran

Washington, DC – Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan “keberhasilan militer yang spektakuler” setelah AS melancarkan serangan terhadap tiga fasilitas nuklir Iran pada Sabtu malam lalu. AS menargetkan menghancurkan kapasitas nuklir Iran dan menghentikan ancamannya.

Namun, Iran telah berulang kali berjanji akan membalas jika AS bergabung dalam serangan Israel. Israel memulai serangan dengan gempuran udara ke situs nuklir dan target militer Iran pada 13 Juni. Sebagai respons, Iran telah melancarkan serangan rudal dan pesawat nirawak terhadap kota-kota di Israel.

Iran sebelumnya juga telah menyerang pangkalan militer AS di Qatar. Sebelum aksi balasan Iran, Trump sudah memberikan ancaman. “Trump mengancam, “Setiap balasan Iran akan kami hadapi dengan kekuatan lebih besar.

Dramatika Perang: Netanyahu dan Ancaman Fasilitas Nuklir Iran

Intervensi Trump itu menjadi sebuah kesuksesan bagi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang sudah menggempur Teheran sejak 13 Juni 2025. Perang Israel-Iran memasuki pekan kedua. Serangan Israel menewaskan 657 orang, termasuk 263 warga sipil, dan melukai 2.000 lebih.

Iran telah membalas dengan menembakkan lebih dari 450 rudal dan 1.000 pesawat tanpa awak ke Israel, menurut perkiraan militer Israel. Meskipun sebagian besar telah ditembak jatuh oleh pertahanan udara bertingkat Israel, setidaknya 24 orang di Israel telah tewas dan ratusan lainnya terluka.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan operasi militer Israel di Iran akan terus berlanjut “selama diperlukan” untuk menghilangkan apa yang disebutnya ancaman eksistensial dari program nuklir Iran dan persenjataan rudal balistik.

Namun, tujuan Netanyahu bisa jadi tidak tercapai tanpa bantuan AS. Kecuali ada serangan komando atau bahkan serangan nuklir, fasilitas nuklir Iran bawah tanah Fordow dianggap berada di luar jangkauan semua bom kecuali bom “penghancur bunker” milik Amerika. Hal ini menekankan betapa vitalnya peran AS dalam upaya menetralkan fasilitas nuklir Iran yang terlindungi dengan baik.

Akibatnya, perang panjang menjadi suatu keniscayaan. Apalagi, militer Israel mengatakan pada hari Sabtu bahwa mereka sedang mempersiapkan kemungkinan perang yang berkepanjangan, sementara menteri luar negeri Iran memperingatkan bahwa keterlibatan militer AS “akan sangat, sangat berbahaya bagi semua orang.”

Baca Juga : Negara Paling Aman dari Perang Dunia III: Indonesia dalam Daftar Teratas

Prospek perang yang lebih luas juga terancam. Pemberontak Houthi yang didukung Iran di Yaman mengatakan mereka akan melanjutkan serangan terhadap kapal-kapal AS di Laut Merah jika pemerintahan Trump bergabung dengan kampanye militer Israel. Houthi telah menghentikan serangan tersebut pada bulan Mei berdasarkan kesepakatan dengan AS.

Siapa Pemenang Sejati dalam Konflik Fasilitas Nuklir Iran?

1. Drama Perang Netanyahu

Militer Israel mengklaim telah mencapai “keunggulan udara penuh” atas Teheran, dengan seorang juru bicara membandingkan kemampuannya dengan yang terlihat di Jalur Gaza, Lebanon, dan Tepi Barat yang diduduki.

“Pasukan Israel menyelesaikan gelombang serangan baru di Teheran, yang menargetkan lebih dari 20 pusat komando militer dan Pasukan Quds, sayap luar negeri Garda Revolusi Iran,” kata juru bicara IDF Effie Defrin. Israel juga mengatakan telah menghancurkan sepertiga peluncur rudal Israel, sekitar 50 pesawat militer, dan lebih dari 20 rudal permukaan-ke-permukaan.

Pada saat yang sama, Israel menghadapi kendala persediaan, kelelahan awak, perawatan pesawat, dan menipisnya target, sehingga sulit mempertahankan serangan intens. Pengurangan serangan yang mungkin akan memberi Teheran narasi keberlanjutan, meskipun ada upaya terhadap fasilitas nuklir Iran.

Aviv Bushinsky, yang bekerja dengan Netanyahu akhir 90-an, menilai serangan ke fasilitas nuklir Iran sebagai pencapaian terbesarnya, memulai gelombang keberhasilan militer yang kemudian berlanjut di era Trump. “Netanyahu dipandang sebagai seseorang yang berhasil mengatur operasi ini dari awal hingga akhir,” kata Bushinsky kepada CNN.

Bushinsky menilai keberhasilan serangan itu begitu besar hingga menempatkan Netanyahu sebagai salah satu dari dua atau tiga pemimpin teratas Israel sejak 1948. Meski noda karena gagal menghentikan serangan Hamas pada 7 Oktober masih melekat, serangan terhadap fasilitas nuklir Iran langsung menambah warisannya.

“Netanyahu memiliki tanda tangan untuk menghancurkan kemampuan nuklir Iran,” katanya.

Netanyahu kini menghadapi tantangan baru: menentukan langkah selanjutnya. Setidaknya secara publik, AS telah menjelaskan bahwa mereka melihat serangan Iran telah selesai selama pasukan Iran tidak menyerang pasukan AS di wilayah tersebut.

Namun setelah memulai kampanye sendirian, Israel masih menekan keunggulannya. Brigjen Effie Defrin, juru bicara IDF, menyatakan Israel menyiapkan “kampanye panjang” setelah menyerang Iran dan menindaklanjuti bom AS di fasilitas nuklir.

Mantan konsul Israel Alon Pinkas bertanya, “Jika AS menghancurkan fasilitas nuklir Iran, mengapa Israel tidak mengumumkan misi tercapai?”. “Solusi militer untuk semuanya ini baik-baik saja, selama Anda memahami bahwa itu sejalan dengan tujuan politik. Dan saya tidak melihatnya.”

2. Pembuktian Khamenei dan Resiliensi Iran

Di sisi lain, Iran juga menunjukkan ketangguhan. Dalam 18 jam, Iran restrukturisasi komando, aktifkan pertahanan udara, dan meluncurkan rudal ke sistem pertahanan Israel. Banyak rudal menembus pertahanan berlapis Israel, menerangi cakrawala Tel Aviv saat menghantam targetnya — termasuk serangan langsung ke Kementerian Pertahanan Israel.

“Bahwa Teheran dapat melancarkan respons seperti itu hanya beberapa jam setelah kehilangan beberapa komandan militer tinggi merupakan tanda jelas pertama bahwa keberhasilan awal Israel tidak akan bertahan lama,” ungkap Trita Parsi, peneliti Quincy Institute for Responsible Statecraft.

Para ahli meragukan apakah bom berat AS (GBU-57) bisa menetralkan pembangkit nuklir bawah tanah Fordow. Profesor Toby Dodge dari LSE menegaskan bahwa rezim Iran lebih stabil dari dugaan, dan satu bom tidak bisa menghancurkan kemajuan teknologinya, lapor The Guardian.

Khamenei memanfaatkan dukungan kuat dari Garda Revolusi Iran, mesin militer dan intelijen yang ditakuti di Timur Tengah. Khamenei bisa mengerahkan proksi Iran di Irak, Suriah, Yaman, Gaza, dan Lebanon meski beberapa melemah.

3. AS Selalu di Belakang Israel

Pilihan Israel untuk memprovokasi konflik langsung guna melibatkan Presiden Trump, yang tetap berhati-hati, dipandang oleh banyak orang sebagai langkah yang berbahaya.

Profesor Andreas Krieg dari King’s College London mengingatkan bahwa kekuatan udara saja tidak cukup untuk mencapai tujuan politik. “Anda bisa membunuh pemimpinnya, tetapi Anda tidak akan menghancurkan jaringan terdesentralisasi Iran,” ujarnya.

Ketegangan Meningkat di Timur Tengah Setelah Serangan AS ke Fasilitas Nuklir Iran

Mantan Duta Besar AS untuk Israel Dan Shapiro, mengungkapkan keputusan untuk bertindak dan keputusan untuk menunggu masing-masing melibatkan unsur risikonya sendiri.

“Ada risiko dalam penggunaan kekuatan apa pun dan tentu saja dalam keputusan besar seperti ini dari Amerika Serikat,” ujarnya.

“Tetapi ada risiko dalam tidak bertindak dan meninggalkan Iran dalam beberapa minggu setelah bom nuklir pada waktu yang mereka pilih.” Shapiro menegaskan, menyerang fasilitas nuklir Iran tidak berarti konflik telah usai.

“Saya tidak berpikir kita harus menganggap ini sebagai akhir dari cerita. Banyak hal bergantung pada bagaimana kita mengelola akibatnya sehingga hasilnya positif,” tambahnya.

Shapiro bilang keamanan Timur Tengah tergantung pada keberhasilan AS hancurkan fasilitas nuklir Iran. Itu juga tergantung pada bagaimana Iran memilih untuk menanggapi, yang menurutnya mengharuskan masyarakat internasional untuk menjauhkan Iran dari eskalasi.

“Masih terlalu dini untuk merayakan pencapaian ini.”

No More Posts Available.

No more pages to load.