Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang pemerintah gulirkan telah memicu polemik luas. Ide dasarnya tidak hanya dinilai baik untuk perbaikan gizi anak, tetapi terutama mekanisme penyaluran (delivery mechanism). Memicu kasus keracunan massal di berbagai daerah. Situasi ini mendorong pertanyaan krusial: Sebenarnya, siapa pihak yang paling mendapatkan untung dari program bernilai triliunan rupiah ini?
Guru Besar Departemen Manajemen , Prof. Dr. R. Agus Sartono, , menilai bahwa ide sudah bagus dan memberikan manfaat edukatif (seperti mengajarkan antre dan bertanggung jawab). Namun, menurutnya, kekisruhan dan pandangan negatif muncul karena proses implementasi yang sangat bermasalah.
Prof. Agus menyoroti bahwa persoalan utama terletak pada rantai distribusi yang terlalu panjang. Rantai distribusi yang melibatkan Satuan Pendidikan Pelaksana Gizi () ini, alih-alih memberikan gizi maksimal kepada siswa. Justru menimbulkan praktik yang menguntungkan pihak-pihak tertentu.
Keuntungan ‘Gratis’ Bagi Pengusaha Besar
Prof. Agus Sartono secara blak-blakan menyebut bahwa sistem penyaluran saat ini cenderung menguntungkan pengusaha besar yang memiliki modal dan jaringan untuk terlibat dalam program .
Ia melakukan simulasi perhitungan sederhana yang menunjukkan potensi kebocoran dana yang signifikan. Dengan unit cost (biaya per porsi) sebesar Rp15.000 per anak, ia khawatir dana yang benar-benar tersisa untuk gizi anak di lapangan hanya tinggal sekitar Rp7.000 per porsi.
“Program Makan Bergizi Gratis benar-benar menjadi ‘Makan Bergizi Gratis’ bagi pengusaha besar. Karena mendapat keuntungan yang besar secara ‘gratis’,” tegas Prof. Agus.
Sebagai ilustrasi, ia menghitung bahwa jika pihak pelaksana mengambil margin keuntungan Rp2.000 per porsi dan satu melayani 3.000 porsi per hari, maka pihak tersebut bisa memperoleh keuntungan bulanan hingga Rp150 juta. Dalam setahun, pihak tersebut bisa mendapatkan keuntungan kotor mencapai Rp1,8 miliar. Keuntungan ‘ekstra’ yang jatuh kepada pihak yang tidak semestinya inilah yang ia sebut sebagai praktik ‘pemburu rente’.
Kritik terhadap Mekanisme Penyaluran
Prof. Agus juga mempertanyakan mengapa tidak memanfaatkan mekanisme penyaluran yang sudah mapan dan terintegrasi dalam program pemerintah lainnya. Data sasaran untuk siswa dan masyarakat tidak mampu, misalnya, sudah tersedia di Kementerian Sosial () melalui Program Keluarga Harapan () atau di Kementerian Pendidikan melalui Bantuan Operasional Sekolah () dan Kartu Indonesia Pintar ().
Ia mendesak agar pemerintah mengembalikan kewenangan pengelolaan pendidikan dan gizi kepada pemerintah daerah sesuai No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, di mana Kabupaten/Kota mengelola dan Provinsi mengelola .
Baca Juga : Revolusi Masuk PTN: Inilah Sisi Terang dan Gelap SNPMB Perdana
“Oleh sebab itu, beri kewenangan kepada daerah sesuai undang-undang, dan Badan Gizi Nasional () hanya melakukan monitoring. Berdayakan Pemerintahan Daerah, dan dengan cara demikian maka koordinasi dan tingkat keberhasilan akan jauh lebih baik,” terangnya.
Solusi Alternatif: Kantin Sekolah dan Bantuan Tunai
Untuk menekan praktik pemburu rente dan kebocoran keuntungan, Prof. Agus menawarkan dua opsi implementasi yang jauh lebih efektif dan berdampak ekonomi:
- Memanfaatkan Kantin Sekolah: Penyaluran makanan melalui kantin sekolah, seperti yang dilakukan di banyak negara maju, akan memastikan makanan yang disajikan lebih segar. Selain itu, kebutuhan bahan baku dapat dipenuhi dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah () di sekitar sekolah, sehingga tercipta sirkulasi ekonomi lokal yang baik.
- Bantuan Tunai Langsung (Cash Transfer): Alternatif lainnya adalah memberikan dana secara tunai kepada siswa, mirip dengan mekanisme . Dalam skema ini, hanya perlu menyusun panduan teknis dan pengawasan. Orang tua kemudian dapat menggunakan dana tersebut untuk menyiapkan bekal gizi bagi putra-putri mereka. Guru di sekolah dapat melakukan pengawasan lanjutan.
Guru besar tersebut menyimpulkan bahwa meskipun ide mulia untuk perbaikan gizi, masih ada waktu untuk membenahi mekanisme pelaksanaannya. Ia menutup dengan seruan: “Mari kita perpendek rantai distribusi agar lebih efektif dan hilangkan cara-cara kotor memburu rente. harus benar-benar Makan Bergizi Gratis bagi siswa.”






