Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengeluarkan pernyataan tegas menyikapi kasus kontroversial. Setelah seorang kepala sekolah di Banten terduga menampar muridnya karena kedapatan merokok di lingkungan sekolah. P2G menekankan bahwa meskipun P2G tidak membenarkan tindakan merokok dan segala bentuk kekerasan di lingkungan pendidikan. Pemerintah daerah sebaiknya menghindari pemecatan atau pencopotan jabatan kepala sekolah secara terburu-buru.
Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim, melalui keterangan tertulisnya. Menyatakan kedua perilaku tersebut secara jelas melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Namun, P2G menyarankan agar pemerintah daerah, dalam hal ini Gubernur Banten. Meninjau ulang keputusan penonaktifan sementara dan memberikan ruang mediasi serta pembinaan.
Kekerasan dan Merokok Melanggar Regulasi Pendidikan
Satriwan menegaskan bahwa kekerasan dalam bentuk apa pun di lingkungan sekolah tidak baik. Larangan ini tertuang jelas dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023. Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan. Aturan tersebut melarang warga sekolah, baik guru, tenaga kependidikan, maupun murid, melakukan kekerasan fisik, psikis, maupun kekerasan seksual.
Di sisi lain, merokok di fasilitas pendidikan juga merupakan pelanggaran hukum yang ketat. Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 Pasal 151 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan mengatur larangan merokok di lingkungan sekolah.
Secara spesifik, Pasal 5 Ayat 1 dalam Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah melarang Kepala sekolah, guru, peserta didik, dan pihak lain merokok di lingkungan sekolah.
“Menurut kami, kekerasan di sekolah tidak bisa benarkan, begitupun merokok di lingkungan pendidikan, jelas tidak boleh normalisasi. Keduanya melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujar Satriwan.
Prosedur Penindakan dan Imbauan P2G
Dalam kasus Kepala SMAN 1 Cimarga yang menampar siswanya karena merokok, P2G menyayangkan reaksi emosional dari kepala sekolah tersebut. Meskipun sang kepala sekolah, Dini Fitri, menggambarkan (atau mengatakan) bahwa ia melakukan tepukan pelan, bukan tamparan keras yang menyebabkan luka, tindakan kekerasan tetap melanggar prinsip pendidikan yang ramah anak.
P2G menekankan bahwa mekanisme sanksi bagi murid yang melanggar, seperti merokok, sudah teratur dalam peraturan sekolah dan Permendikbud. Berdasarkan Permendikbud No. 64 Tahun 2015 Pasal 5 Ayat 2, kepala sekolah memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi. Namun, pihak sekolah seyogianya memberikan sanksi berupa teguran atau peringatan terlebih dahulu, bukan langsung menjatuhkan hukuman fisik.
Oleh karena itu, P2G meminta Gubernur Banten untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan terkait status kepala sekolah. P2G menilai langkah penonaktifan sementara yang Pemerintah Provinsi Banten ambil sudah tepat, karena langkah tersebut memberikan waktu untuk proses pemeriksaan. Namun, P2G mengimbau agar keputusan final tidak buru-buru berakhir pada pemecatan.
Pemecatan Kepsek Bukan Solusi Akhir
P2G berpendapat bahwa pemecatan bukanlah solusi yang menyelesaikan akar masalah krisis moral dan perilaku di sekolah. P2G mengkhawatirkan bahwa pemecatan Kepala Sekolah akan menimbulkan trauma yang lebih dalam bagi yang bersangkutan, serta memberikan citra negatif bagi profesi guru dan kepala sekolah yang selama ini sudah terbebani dengan berbagai tuntutan administrasi dan profesionalisme.
Satriwan menambahkan bahwa upaya yang penting adalah mediasi dan penyelesaian secara kekeluargaan, yang akhirnya memang terwujud setelah Gubernur Banten memfasilitasi pertemuan antara kepala sekolah dan orang tua siswa.
“Kita harus menyelesaikan kasus ini melalui mekanisme pendidikan, bukan hanya mekanisme hukum atau pemecatan instan. Kita perlu mendorong pembinaan kepada kepala sekolah dan juga pembinaan kepada murid agar memahami konsekuensi dari tindakan merokok di lingkungan sekolah,” tegas Satriwan. P2G merekomendasikan pemerintah daerah dan sekolah untuk menguatkan implementasi Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) yang Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 amanatkan.
Baca Juga : Tragedi Kampus: Filsafat Mati Suri, Lahirlah Generasi Cerdas Tanpa Kompas Moral
TPPK harus berfungsi optimal sebagai garda terdepan dalam merespons, menangani, dan memberikan rekomendasi sanksi, sehingga pihak sekolah dapat menghindari tindakan emosional dari individu (guru atau kepala sekolah) di masa depan. P2G juga mendorong sekolah untuk fokus pada pendekatan disiplin positif alih-alih hukuman fisik, demi menciptakan iklim sekolah yang aman, damai, dan beradab.






