Gelombang penolakan keras datang dari kalangan pekerja menyikapi rencana kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP). Dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) tahun 2026. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sekaligus Presiden Partai Buruh. Said Iqbal, secara tegas menyatakan kemarahannya dan menolak skema kenaikan upah yang Kemnaker usulkan. Dan hanya akan menghasilkan kenaikan sekitar 3,5% hingga di bawah 6%.
Said Iqbal menilai, formula kenaikan upah berbasis indeks $0,2-0,7$ hanya menguntungkan pengusaha. Ia memaparkan, perhitungan buruh menunjukkan bahwa indeks terendah $(0,2)$ hanya menghasilkan kenaikan upah minimum sekitar 3,65%—yakni gabungan inflasi 2,65% dan 0,2 pertumbuhan ekonomi 5,12%.
Ancam Daya Beli dan Bertentangan dengan Presiden
Said Iqbal menilai angka kenaikan tersebut sangat kecil, bahkan ia memperkirakan konversinya dalam Rupiah hanya mencapai Rp 100 ribuan secara nasional, atau sekitar Rp 200 ribuan di kawasan industri seperti Jabodetabek.
“Ini akan menghancurkan daya beli buruh,” tegas Said Iqbal dalam keterangannya, Kamis (13/11/2025).
Ia menilai kebijakan yang Kemnaker akan umumkan pada 21 November mendatang itu justru bertentangan dengan arah kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang menginginkan adanya peningkatan daya beli masyarakat untuk memutar roda ekonomi.
KSPI dan Partai Buruh menuntut agar Pemerintah menetapkan indeks kenaikan upah minimum. 2026 tidak kurang dari $0,9$ hingga $1,4$, tergantung pada pertumbuhan ekonomi di setiap daerah.
Tuntutan Kenaikan 7,77% dan Ancaman Mogok Nasional
Buruh mendesak pemerintah agar menetapkan indeks kenaikan minimum pada angka 1,0. Berdasarkan perhitungan mandiri KSPI, jika indeks 1,0, maka kenaikan upah minimum 2026 seharusnya mencapai 7,77%. Angka ini dari gabungan komponen inflasi 2,65% dengan persentase penuh dari pertumbuhan ekonomi 5,12%.
Untuk menekan pemerintah dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), KSPI dan Partai Buruh tidak main-main. Said Iqbal mengumumkan rencana aksi mogok nasional yang buruh akan lakukan pada akhir November atau awal Desember 2025.
Aksi masif ini berencana akan ikuti oleh 5 juta buruh dari lebih 5.000 pabrik yang tersebar di 38 provinsi dan 300 kabupaten/kota. Aksi ini akan mencakup penghentian produksi (stop production) secara serentak, serta pemusatan massa di Istana Negara dan Gedung DPR RI.
Said Iqbal mengancam, 5 juta buruh akan melakukan mogok nasional bila pengusaha Apindo dan Menaker memaksakan kehendaknya untuk menaikkan upah minimum di tanggal 21 November yang tidak sesuai harapan buruh.
Mematahkan Narasi PHK Klasik
Said Iqbal juga menyoroti alasan klasik yang sering oleh pengusaha dan pemerintah. Yakni bahwa kenaikan upah yang tinggi akan memicu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal.
Ia membantah narasi tersebut dengan merujuk pada data faktual. Menurutnya, angka PHK tertinggi justru terjadi di wilayah Jawa Tengah sepanjang tahun 2024 hingga 2025, padahal publik/masyarakat mengenal Jawa Tengah sebagai wilayah dengan upah terendah di Indonesia.
“Berarti tidak benar upah rendah saja terjadi PHK,” tegasnya.
Iqbal menuding bahwa PHK yang terjadi justru dipicu oleh faktor-faktor lain yang merugikan industri, seperti melemahnya daya beli masyarakat secara keseluruhan dan adanya regulasi impor yang terlalu longgar, seperti impor tekstil dari China, yang mematikan industri dalam negeri.
Baca Juga : Blok Tuna di Laut Natuna dan Kerjasama Pertamina
Pihak buruh menyatakan mogok nasional akan tetap berjalan jika Kemnaker bersikeras memaksakan kebijakan kenaikan upah yang disebut buruh sebagai skema yang terlalu kecil dan menghancurkan harapan jutaan pekerja di seluruh Indonesia. Buruh menolak mentah-mentah kenaikan di bawah 6% dan akan terus melobi untuk kenaikan yang mendekati 8%.






