NusaSuara — Upaya pemerintah dalam memperkuat penanggulangan TBC di Indonesia memasuki fase baru. Wakil Menteri Kesehatan Benjamin Paulus memastikan bahwa Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 67 Tahun 2021 akan di revisi untuk memperluas peran kementerian dan lembaga dalam menangani tuberkulosis.
Menurut Benjamin, salah satu perubahan utama dalam revisi Perpres 67/2021 adalah bertambahnya jumlah institusi yang terlibat dari sebelumnya 15 menjadi 35 kementerian dan badan, termasuk TNI dan Polri. Perluasan ini di harapkan menciptakan gerakan nasional yang lebih kuat, terkoordinasi, dan efektif untuk menurunkan angka kasus TBC.
“Revisi Perpres 67/2021 akan memperluas kolaborasi lintas sektor. Dengan melibatkan TNI dan Polri, kerja lapangan di tingkat daerah akan lebih sistematis dan menjangkau masyarakat secara langsung,” ujar Benjamin setelah pertemuan dengan Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung di Balai Kota Jakarta, Kamis (13/11).
TBC sebagai Masalah Kesehatan dan Sosial Ekonomi
Dalam penjelasannya, Benjamin menekankan bahwa pemberantasan TBC tidak bisa mengandalkan pengobatan semata. Penyebab TBC sering kali berkaitan erat dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Faktor seperti gizi buruk, daya tahan tubuh rendah, sanitasi buruk, hingga penyakit penyerta seperti diabetes yang tidak terkontrol meningkatkan risiko seseorang terinfeksi TBC.
“Orang yang tinggal di lingkungan kumuh memiliki risiko lebih tinggi terkena TBC. Ini bukan hanya soal bakteri, tetapi juga soal kesejahteraan masyarakat. Kalau gizinya kurang, daya tahan tubuhnya turun, risikonya meningkat,” jelasnya.
Pernyataan ini menegaskan bahwa program penanggulangan TBC perlu mengintegrasikan kebijakan kesehatan, perlindungan sosial, perbaikan ekonomi keluarga, dan pemberdayaan komunitas.
Target Pengobatan: 900 Ribu Pasien dalam Satu Tahun
Saat ini, Indonesia mencatat sekitar 1 juta kasus TBC. Kementerian Kesehatan menargetkan 900 ribu pasien mendapat akses pengobatan pada tahun ini. Capaian hingga saat ini sudah menunjukkan hasil positif.
“Sampai hari ini sudah lebih dari 700 ribu pasien yang mendapatkan pengobatan. Kami optimistis akhir tahun ini angka 900 ribu bisa tercapai,” kata Benjamin. Ia menambahkan bahwa keberhasilan ini tidak hanya bergantung pada tenaga kesehatan, tetapi juga kolaborasi antarinstansi yang terintegrasi.
Deteksi Dini Menjadi Kunci Menekan Kasus TBC
Benjamin kembali menegaskan pentingnya mendeteksi kasus TBC sedini mungkin. Ketika kasus tidak terdeteksi, pasien tidak mendapatkan pengobatan sehingga berpotensi menularkan lebih luas dan meningkatkan angka kematian.
“Kalau kasusnya di temukan, kita bisa obati sampai tuntas. Tapi kalau tidak di temukan, jumlahnya bisa menumpuk dan tiba-tiba menyebabkan kematian di berbagai wilayah. Angka kematian akibat TBC bahkan lebih tinggi di banding Covid-19, tetapi sering kali tidak di anggap sebagai ancaman serius,” ujarnya.
Pernyataan tersebut memperlihatkan urgensi peningkatan skrining aktif, edukasi masyarakat, serta penguatan fasilitas layanan primer agar masyarakat tidak takut memeriksakan diri.
Baca Juga: Ponorogo Sugiri Sancoko dan Kekayaan Rp6,35 Miliar
Arah Kebijakan Penanggulangan TBC ke Depan
Revisi Perpres ini di harapkan menjadi fondasi kuat untuk memperbaiki berbagai aspek penanganan TBC, mulai dari pelacakan kasus, peningkatan kualitas pengobatan, memperluas jangkauan layanan kesehatan, hingga meningkatkan dukungan sosial bagi kelompok rentan.
Dengan keterlibatan lebih banyak kementerian dan lembaga, pemerintah berharap penanggulangan TBC tidak lagi berjalan sektoral, tetapi menjadi program nasional yang menyentuh seluruh lapisan masyarakat.







