Psikiater Bongkar! Kesepian Anak Melejit Karena Anak Dilarang Main di Luar

oleh
Psikiater

Fenomena kesepian (loneliness) kini tak lagi hanya menjadi isu yang menghantui orang dewasa yang menjalani kehidupan serba cepat. Secara mengejutkan, semakin banyak anak dan remaja yang melaporkan perasaan terisolasi. Sebuah kondisi psikologis yang membawa dampak buruk signifikan bagi perkembangan mental dan sosial mereka di masa depan. Data global menunjukkan adanya peningkatan tajam dalam angka isolasi sosial di kalangan usia muda. Menandakan adanya krisis kesehatan mental yang mendesak untuk ditangani oleh orang tua dan komunitas.

Laporan dari Pew Research Center pada tahun 2025 mengungkapkan gambaran yang mencemaskan. Di mana sekitar 24% dari remaja dewasa berusia 18 hingga 29 tahun di Amerika Serikat. Merasa kesepian atau terisolasi hampir sepanjang waktu. Tren yang lebih mengkhawatirkan terlihat pada kelompok usia yang lebih belia. Sebuah laporan terbaru dari lembaga nirlaba Common Sense Media menggarisbawahi hal ini. Mencatat bahwa lebih dari seperempat. Atau tepatnya 26%, remaja laki-laki berusia 11 hingga 17 tahun di AS menyatakan diri merasa kesepian. Angka ini menunjukkan bahwa masalah kesepian memiliki dimensi yang spesifik dalam pola interaksi gender, melebihi kelompok remaja perempuan.

Dr. German Velez, seorang psikiater anak dan remaja terkemuka dari Columbia University Medical Center. Membenarkan temuan ini dan menegaskan bahwa kecenderungan anak-anak yang merasa semakin kesepian adalah fakta yang telah teramati sejak lama. “Anak-anak semakin kesepian. Dan itu adalah sesuatu yang sudah kita ketahui sejak lama,” ujar Dr. Velez, menggarisbawahi bahwa kesepian pada masa pertumbuhan bukanlah sekadar fase sesaat. Melainkan indikator adanya gangguan dalam kebutuhan fundamental mereka akan koneksi dan interaksi sosial yang autentik.

Pemicu Utama: Berkurangnya Aktivitas Luar Ruangan

Dr. Velez dan para ahli lainnya mengungkapkan satu pemicu utama di balik meningkatnya isolasi ini. Berkurangnya aktivitas fisik dan sosial di luar rumah. Menurutnya, kegiatan kelompok yang terorganisir, seperti berolahraga bersama atau bermain di lingkungan terbuka. Merupakan wadah penting bagi anak-anak—khususnya anak laki-laki—untuk meredakan perasaan sepi, membangun pertemanan, dan mengasah keterampilan sosial yang vital.

Sayangnya, anak-anak masa kini semakin jarang menghabiskan waktu di luar ruangan seperti generasi sebelumnya. Jurnal Wellbeing, Space and Society mempublikasikan sebuah studi yang menunjukkan adanya perubahan pola bermain yang masif. Data menunjukkan bahwa sekitar 34% anak-anak tidak bermain di luar ruangan sama sekali pada hari-hari sekolah. Dan angka tersebut hanya sedikit membaik dengan 20% anak yang tidak bermain di luar rumah selama akhir pekan.

Kecemasan Orang Tua Jadi Akar Masalah

Perubahan dinamika sosial yang merupakan oleh kecemasan berlebihan dari orang tua mengakibatkan atau melahirkan fenomena “anak rumahan” ini. Dan hal ini tidak terjadi begitu saja. Psikolog sosial terkemuka, Jonathan Haidt, dalam bukunya yang berjudul The Anxious Generation yang terbit tahun 2024, menguraikan mengapa orang tua semakin membatasi anak mereka bermain secara mandiri di luar rumah.

Peningkatan popularitas istilah seperti ‘bahaya orang asing’ (stranger danger) yang disiarkan secara masif di media, kemudahan akses terhadap berita-berita mengkhawatirkan, serta hilangnya rasa kepercayaan pada masyarakat luas menciptakan generasi orang tua yang hidup dalam ketakutan tinggi. Kecemasan kolektif ini kemudian diwujudkan orang tua dalam bentuk pengawasan berlebihan (over-parenting) dan pembatasan ketat terhadap ruang gerak anak di lingkungan luar. Karena merasa lingkungan tidak aman dan terus-menerus khawatir, orang tua lebih memilih memberikan anak gawai daripada membiarkannya bermain tanpa pengawasan di luar rumah.

Konsekuensi dan Peran Krusial Orang Tua

Pergeseran drastis dari “bermain berbasis fisik” ke “bermain berbasis layar” telah memutus benang interaksi sosial mendalam yang sangat dibutuhkan oleh anak-anak. Jika dahulu taman, lapangan, atau lingkungan perumahan menjadi arena untuk mengasah keterampilan negosiasi, manajemen konflik, dan empati secara langsung, kini interaksi tersebut beralih ke ranah digital yang, ironisnya, seringkali terasa lebih hampa dan dangkal. Walaupun koneksi online tersedia, kontak tatap muka adalah fondasi utama untuk membangun rasa memiliki dan dukungan emosional yang kuat.

Baca Juga : Korupsi Whoosh: KPK Meminta Bantuan Publik

Kesepian kronis pada anak memiliki implikasi serius, mulai dari peningkatan risiko depresi dan kecemasan, hingga penurunan kinerja akademis dan masalah perilaku. Dr. Velez dan komunitas psikiater menekankan bahwa orang tua memiliki peran yang krusial dalam membalikkan tren isolasi ini.

Para ahli menyarankan agar orang tua mengambil langkah proaktif untuk mendorong interaksi sosial nyata, seperti: mendorong anak untuk bergabung dalam kegiatan kelompok (olahraga tim, klub ekstrakurikuler, atau kegiatan sukarela), secara sadar menetapkan batas waktu penggunaan gawai, dan yang paling penting, mengurangi kecemasan berlebihan agar anak memiliki kebebasan yang aman untuk menjelajahi dunia dan berinteraksi secara mandiri dengan teman sebaya. Mengembalikan waktu bermain di luar rumah, walau dalam pengawasan yang bijak, menjadi kunci utama untuk menumbuhkan ketahanan mental dan memadamkan bara kesepian yang kini mulai menjangkiti generasi muda.