Sengketa Perbatasan Kamboja-Thailand kembali memuncak setelah Kamboja melarang impor buah dan sayur dari Thailand. Langkah ini menambah ketegangan yang sudah berlangsung lama antara kedua negara tetangga di Asia Tenggara. Ketegangan bertambah karena kedua negara saling memberlakukan tindakan balasan, mulai dari penutupan pos perbatasan hingga unjuk rasa massal di Phnom Penh.
Larangan Impor sebagai Eskalasi Sengketa Perbatasan Kamboja-Thailand
Kamboja resmi menghentikan semua impor buah-buahan dan sayuran dari Thailand mulai Selasa lalu. Mantan pemimpin Kamboja, Hun Sen, menegaskan bahwa pemerintahnya akan memblokir impor Thailand kecuali Thailand mencabut pembatasan perbatasan. Pemerintah Kamboja menekankan bahwa langkah ini bertujuan melindungi kedaulatan negara dan memastikan keselamatan warganya.
Thailand merespons dengan menegaskan pembatasan di perbatasan mereka sendiri. Kedua negara saling membalas dengan tindakan yang semakin membatasi mobilitas dan perdagangan. Kamboja bahkan melarang penayangan film Thailand di bioskop dan televisi, menutup beberapa pos pemeriksaan, dan memutus jalur pita lebar internet dari Thailand.
Konflik Bersenjata di Perbatasan
Ketegangan terbaru mencapai puncak pada Mei lalu, ketika pasukan dari Kamboja dan Thailand terlibat baku tembak di wilayah perbatasan yang disengketakan. Bentrokan ini menewaskan seorang tentara Kamboja dan memicu gelombang nasionalisme di kedua negara. Insiden ini juga memacu rangkaian aksi balasan pemerintah yang semakin memperkeruh hubungan bilateral.
Warga Kamboja menanggapi insiden tersebut dengan demonstrasi besar di Phnom Penh. Puluhan ribu orang membawa bendera nasional dan foto para pemimpin negara untuk mendukung sikap tegas pemerintah. Wakil Perdana Menteri Hun Many menyatakan bahwa unjuk rasa ini memberikan energi tambahan bagi pasukan dan pemerintah untuk menghadapi ancaman terhadap kedaulatan negara. Ia menekankan, “Ketika negara menghadapi ancaman atau penghinaan, rakyat Kamboja akan bangkit dengan semangat bersatu.”
Peran Mahkamah Internasional (ICJ)
Kamboja telah mengajukan Sengketa Perbatasan Kamboja-Thailand ke Mahkamah Internasional (ICJ) untuk mendapatkan penyelesaian hukum. Namun, Thailand menolak yurisdiksi ICJ dan memilih menyelesaikan masalah melalui negosiasi bilateral. Pemerintah Thailand menegaskan komitmen mereka untuk melindungi kedaulatan negara sambil menjaga perdamaian di perbatasan.
Sejarah sengketa ini sebenarnya telah berlangsung lebih dari satu abad. Awal mula konflik terjadi saat Prancis, yang menduduki Kamboja hingga 1953, memetakan perbatasan darat. Selama bertahun-tahun, sengketa ini menimbulkan insiden nasionalisme yang tajam. Misalnya, pada 2003, protes besar terjadi di Phnom Penh akibat dugaan pernyataan provokatif seorang selebriti Thailand terkait kuil Angkor Wat.
Dampak Sengketa Perbatasan Kamboja-Thailand pada Hubungan Bilateral
Sengketa Perbatasan Kamboja-Thailand memengaruhi hampir semua aspek hubungan bilateral. Kedua negara mempersingkat masa tinggal visa bagi warga masing-masing. Kamboja menutup beberapa pos pemeriksaan, sedangkan Thailand memberlakukan pembatasan transportasi dan perdagangan. Ketegangan ini berdampak pada sektor ekonomi, budaya, dan sosial, sekaligus menimbulkan ketidakpastian di kalangan masyarakat perbatasan.
Perdana Menteri Hun Manet menegaskan bahwa pemerintahnya bertindak untuk melindungi integritas wilayah Kamboja sekaligus menjaga perdamaian dengan Thailand. Ia menyatakan, “Kami bertekad mempertahankan kepentingan rakyat dan negara kami, namun tetap ingin menjaga kerja sama yang baik dengan Thailand.” Pernyataan ini menegaskan sikap Kamboja yang tegas namun tetap mengedepankan diplomasi.
Wilayah dan Sejarah Sengketa Perbatasan Kamboja-Thailand
Kamboja meminta ICJ untuk memutuskan empat wilayah perbatasan yang disengketakan, termasuk Mom Bei atau Chong Bok, tempat perbatasan Kamboja, Thailand, dan Laos bertemu. Wilayah ini menjadi lokasi bentrokan terbaru. Selain itu, Kamboja juga menyoroti tiga kuil kuno yang berada di perbatasan.
Sebelumnya, ICJ pernah memutuskan sengketa Preah Vihear, sebuah kuil Hindu abad ke-11. Pada 1962, pengadilan menegaskan bahwa kuil tersebut menjadi milik Kamboja, meskipun putusan awal tidak mencakup wilayah sekitarnya. Kamboja kemudian meminta klarifikasi pada 2011, dan pada 2013 ICJ menegaskan bahwa wilayah di sekeliling kuil tetap menjadi milik Kamboja. Putusan ini menjadi dasar hukum Kamboja dalam memperkuat klaimnya atas wilayah perbatasan yang disengketakan.
Baca juga : Harapan Diplomatik di Tengah Ketegangan, 3 Negara Eropa Jadi Peran Kunci Diplomasi Iran
Respons Thailand terhadap Sengketa
Pemerintah Thailand, melalui Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra, menekankan perlunya menjaga perdamaian sambil melindungi kedaulatan negara. Thailand juga menyoroti beberapa pernyataan provokatif dari mantan pemimpin Kamboja yang dianggap merusak komunikasi diplomatik. Pemerintah Thailand memilih negosiasi langsung sebagai jalan penyelesaian sengketa, menolak intervensi ICJ.
Thailand menegaskan bahwa mereka tidak ingin eskalasi lebih lanjut namun tetap siap membela kepentingannya. Kedua negara, meskipun berada dalam ketegangan, tetap menunjukkan kesadaran akan pentingnya stabilitas regional di Asia Tenggara.
Kesimpulan
Sengketa Perbatasan Kamboja-Thailand terus menjadi isu penting dalam hubungan bilateral kedua negara. Larangan impor buah dan sayur Thailand oleh Kamboja, pembatasan perbatasan, dan unjuk rasa massal menunjukkan eskalasi yang signifikan. Sementara itu, peran ICJ tetap terbatas karena Thailand menolak yurisdiksi.
Meski ketegangan tinggi, kedua negara masih menyisakan ruang untuk diplomasi. Pemerintah Kamboja menegaskan perlunya melindungi kedaulatan, sedangkan Thailand tetap mengedepankan negosiasi. Sengketa ini bukan hanya soal wilayah, tetapi juga tentang sejarah, nasionalisme, dan stabilitas regional.
Dengan pengawasan internasional dan diplomasi yang tepat, Sengketa Perbatasan Kamboja-Thailand dapat dikelola sehingga hubungan bilateral tetap terjaga dan konflik bersenjata dapat dihindari di masa depan.







