, ,

Uang Rp1 Miliar untuk Sedekah: Kisah Marbot Masjid yang Tak Lupa Diri Setelah Kaya Mendadak

oleh
Marbot

Kisah ajaib tentang perubahan nasib seseorang seringkali terjadi tanpa terduga. Namun, sedikit yang sefenomenal yang Sayat alami, seorang marbot masjid sekaligus tukang becak asal Magelang, Jawa Tengah. Pada tahun 1990, di tengah keterbatasan ekonomi dan usia senja, hidup Sayat berubah drastis dalam semalam. Pria sederhana yang mengabdikan diri pada kebersihan Rumah Allah ini mendadak menyandang gelar miliarder setelah kupon yang ia beli memenangkan undian fantastis senilai Rp1 miliar.

Siaran radio pemerintah mengumumkan kabar kemenangan tersebut pada Rabu, 9 Mei 1990. Saat penyiar membacakan nomor kuponnya—delapan, empat, sembilan, tiga, tujuh, dan terakhir sembilan—Sayat sontak terperanjat. Seketika itu pula, ia menyadari bahwa impiannya untuk keluar dari jeratan kemiskinan telah terwujud. Sayat menjadi salah satu dari enam orang beruntung yang memenangkan undian tersebut pada periode ke-14.

Hidup dalam Keterbatasan dan Pengabdian

Sebelum keajaiban datang, kehidupan Sayat jauh dari kata mewah. Di usianya yang menginjak 72 tahun saat itu, warga Magelang mengenal ia sebagai sosok yang hidup sebatang kara dan sederhana di sebuah rumah berdinding bambu. Profesi ganda Sayat sebagai marbot masjid dan pengayuh becak dilakoni demi menyambung hidup sehari-hari, termasuk untuk membayar sewa rumah yang selalu menjadi beban pikiran.

Tugasnya sebagai marbot masjid tidaklah ringan. Setiap hari, ia bertanggung jawab menjaga kebersihan masjid agar para jemaah dapat beribadah dengan nyaman. Mulai dari menyapu halaman, membersihkan sajadah, hingga memastikan ketersediaan air wudu. Di luar rutinitas pengabdian itu, ia masih harus mengayuh becak di sekitar rumahnya. Ironisnya, meski memiliki etos kerja tinggi dan pengabdian yang tulus, Sayat tetap berjuang melawan kemiskinan yang membelenggunya selama puluhan tahun.

Ternyata, latar belakang Sayat juga cukup unik. Jauh sebelum menjadi marbot dan tukang becak, Sayat adalah seorang prajurit. Ia pernah berperang melawan musuh di wilayah Magelang dan pensiun dengan pangkat Sersan Satu. Namun, gelar dan masa lalunya sebagai tentara tidak serta merta memperbaiki nasibnya. Kondisi inilah yang membuatnya mencari berbagai cara, salah satunya adalah dengan membeli kupon undian.

Air Mata dan Sujud Syukur di Tengah Malam

Undian yang dimenangkan Sayat adalah Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB), sebuah bentuk perjudian yang sempat dilegalkan oleh pemerintah di era Orde Baru melalui Kementerian Sosial. Meskipun peluangnya sangat kecil, Sayat melihat kupon ini sebagai satu-satunya harapan untuk mengubah takdir. Ia selalu menyisihkan sedikit uangnya yang pas-pasan demi membeli kupon tersebut secara rutin.

Momen pengumuman pemenang pada 9 Mei 1990 menjadi puncak penantian panjangnya. Ketika nomor-nomor yang dibacakan penyiar radio cocok persis dengan kupon yang ia genggam, Sayat dilaporkan langsung terperanjat. Surat kabar Waspada (17 Mei 1990) mengisahkan momen haru tersebut: Sayat, dengan tubuh renta dan kulit keriputnya, segera keluar dari rumah bambunya untuk bersujud mencium tanah halaman. Tangis sang istri pun pecah, menyambut terwujudnya mimpi yang selama ini hanya bisa mereka bayangkan.

Kisah itu berlanjut heboh. Sayat bahkan sempat pingsan di Jakarta saat proses pengurusan hadiah. Sepanjang hidupnya, ia tak pernah membayangkan akan memegang uang sebesar Rp1 miliar. Kepada media, ia hanya bisa bersyukur: “Saya menang karena rahmat Tuhan Yang Maha Esa,” tuturnya, seperti diwartakan oleh surat kabar Pelita (22 Mei 1990).

Nilai Fantastis Uang Rp1 M di Era 90-an

Angka Rp1 miliar pada tahun 1990 bukanlah jumlah yang main-main. Di masa itu, uang tersebut memiliki daya beli yang luar biasa, menjadikannya setara dengan puluhan miliar, bahkan mendekati Rp100 miliar jika diukur dengan inflasi saat ini.

Sebagai perbandingan, harga satu unit rumah mewah di kawasan elite Pondok Indah, Jakarta, kala itu hanya berkisar Rp80 juta. Artinya, dengan uang hadiah undian tersebut, Sayat bisa memborong lebih dari 12 unit rumah di kawasan tersebut. Selain itu, harga emas pada tahun 1990 hanya Rp20 ribu per gram. Dengan Rp1 miliar, Sayat bisa membeli 50 kilogram emas. Kekayaan mendadak ini membuat Sayat seketika menjadi figur sentral, dan seisi kota Magelang heboh oleh kabar seorang marbot dan tukang becak mendadak jadi miliarder.

Janji Membeli Rumah dan Bersedekah

Meskipun baru saja menjadi kaya raya, Sayat menunjukkan hati yang mulia dan niat yang luhur. Ia tidak melupakan dari mana ia berasal dan apa yang selalu ia yakini. Kepada wartawan, Sayat mengungkapkan rencana penggunaan uang hadiah tersebut.

Baca Juga : Whoosh dalam Persoalan Utang ke Pemerintah China

Prioritas utamanya adalah membeli rumah permanen yang layak sebagai tempat tinggal. Selain itu, ia juga berkomitmen untuk melakukan amal, dengan menyumbangkan Rp5 juta kepada para pedagang asongan yang mencari nafkah di jalanan. Tak lupa, ia juga menyisihkan sebagian uangnya untuk merenovasi masjid yang selama ini ia urus. Sisanya, ia berencana menabung dan mengamankan dana tersebut untuk masa depan anak cucunya kelak.

Kisah Sayat ini menjadi pengingat yang unik tentang keajaiban nasib di tengah sejarah ekonomi Indonesia, menegaskan bahwa takdir dan rezeki dapat datang kapan saja, bahkan pada mereka yang paling sederhana dan berpasrah.

No More Posts Available.

No more pages to load.