NusaSuara — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkap bahwa Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) menekan penerimaan negara dari sektor batu bara. Menurutnya, perubahan status batu bara menjadi barang kena pajak (BKP) membuat pemerintah menanggung beban restitusi pajak yang sangat besar setiap tahun.
“Sejak UU Cipta Kerja 2020 berlaku, status batu bara berubah dari non-BKP menjadi BKP. Akibatnya, industri batu bara dapat meminta restitusi PPN sekitar Rp25 triliun per tahun,” jelas Purbaya dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, Senin (8/12).
Konsekuensi Fiskal: Pendapatan Batu Bara Berubah Negatif
Lebih lanjut, Purbaya menjelaskan bahwa meskipun perusahaan tambang menanggung biaya produksi tinggi, nilai restitusi yang harus di bayarkan negara jauh lebih besar. Sebagai akibatnya, pendapatan negara dari sektor batu bara yang sebelumnya positif kini berbalik menjadi negatif.
“Net income dari industri batu bara bukannya positif, malah negatif karena beban pajak dan restitusi,” tegasnya. Dengan demikian, ia menilai kebijakan tersebut membuat pemerintah seolah memberikan subsidi tidak langsung kepada industri yang sebenarnya sudah meraup keuntungan besar terutama dari ekspor.
“Ini orang kaya, untungnya dari ekspor besar, tapi malah seperti saya subsidi secara tidak langsung,” ujarnya.
Rencana Kebijakan Baru untuk Mengurangi Tekanan Fiskal
Untuk mengatasi kondisi tersebut, pemerintah kini menyiapkan kebijakan pemungutan bea keluar batu bara dan emas. Kebijakan ini di harapkan mampu mengurangi beban anggaran. Selain itu, memperbaiki struktur penerimaan negara. Menurut Purbaya, langkah ini tidak akan menurunkan daya saing industri di pasar global.
Hal itu terjadi karena skemanya hanya mengembalikan aturan seperti sebelum UU Ciptaker di berlakukan. “Daya saing global tidak berkurang karena ini hanya mengembalikan skema ke kondisi sebelum 2020. Saat itu, mereka tetap bisa bersaing,” jelasnya.
Dampak Restitusi terhadap Penerimaan Pajak
Di sisi lain, ia juga memaparkan bahwa salah satu penyebab turunnya penerimaan pajak tahun ini adalah besarnya nilai restitusi yang harus di bayarkan pemerintah. “Makanya penerimaan pajak kami turun karena restitusi cukup besar,” terangnya.
Bea Keluar Baru: Proyeksi Tambahan Penerimaan Rp23 Triliun
Melalui kebijakan baru tersebut, pemerintah berencana memungut bea keluar emas sebesar 7,5–15 persen dan bea keluar batu bara 1–5 persen. Dengan skema ini, pemerintah menargetkan tambahan penerimaan sekitar Rp23 triliun per tahun. Rinciannya adalah Rp20 triliun dari batu bara dan Rp3 triliun dari emas. Pada akhirnya, dana tambahan ini di proyeksikan membantu menutup defisit APBN tahun depan dan memperkuat ketahanan fiskal negara.
Baca Juga: Banjir Bandang Humbahas: Apa yang Terjadi di Panggugunan?
Batu Bara sebagai Barang Kena Pajak
Sebagai catatan, melalui UU Ciptaker, pemerintah menetapkan batu bara sebagai barang kena pajak sejak 2 November 2020. Sejak saat itu, industri batu bara berhak mengajukan restitusi PPN kepada negara, yang kemudian menjadi sumber tekanan terhadap penerimaan negara.
Karena itu, kebijakan bea keluar di pandang perlu untuk mengembalikan keseimbangan fiskal. Juga memastikan industri batu bara berkontribusi secara proporsional terhadap perekonomian nasional.






