Warga Thailand di perbatasan Thailand-Kamboja membangun bunker perlindungan. Mereka mengambil langkah antisipasi ini untuk menghadapi kemungkinan pecahnya perang antara kedua negara. Kekhawatiran akan konflik bersenjata meningkat di kalangan warga yang tinggal di daerah perbatasan, terutama di provinsi Sa Kaeo. Mereka cemas akan gangguan terhadap kehidupan sehari-hari dan mata pencarian, serta berharap agar konflik bisa dihindari. Fenomena warga Thailand dirikan bunker ini menjadi simbol keresahan yang mendalam.
Ketegangan terkait klaim wilayah antara pemerintah Thailand dan Kamboja memicu penduduk setempat membangun tempat perlindungan. Kekhawatiran ini semakin besar setelah bentrokan pada 28 Mei lalu yang menewaskan seorang tentara Kamboja. Insiden ini juga memicu lonjakan sentimen nasionalisme di kedua pihak. Penduduk mengungkapkan bahwa kebuntuan dalam upaya diplomasi dan mobilisasi militer yang terus berlangsung menjadi penyebab utama keresahan mereka. Jadi, warga Thailand dirikan bunker sebagai respons langsung terhadap situasi yang memanas.
Kesaksian dari Lapangan: Mengapa Warga Thailand Dirikan Bunker untuk Bertahan
Ucok Intarasorn, seorang warga desa berusia 65 tahun dari distrik Kantharalak, mengaku sangat takut jika perang sewaktu-waktu meletus. “Saya sampai tidak bisa tidur selama berhari-hari,” ujarnya. Ucok Wijit, yang tinggal sekitar 62 kilometer dari lokasi peningkatan aktivitas militer, menceritakan kecemasannya sambil mendirikan bunker bersama tetangganya, Satien Chaiyapakdi, 71 tahun. Wijit sendiri pernah kehilangan satu kakinya akibat menginjak ranjau yang mereka pasang untuk mengamankan perbatasan. Ini adalah alasan personal mengapa warga membangun bunker sebagai bentuk perlindungan diri.
Baca Juga : BYD Atto 1 Resmi Hadir di Indonesia, Siap Gemparkan Pasar EV Terjangkau
Para tetangga memutuskan menyiapkan ruang aman di antara rumah-rumah mereka. Mereka ingin menggunakannya sebagai tempat berlindung jika konflik bersenjata terjadi. “Kami tidak tahu kapan ledakan akan terjadi, dan jika pertempuran terjadi, kami butuh tempat bersembunyi,” kata Satien. “Kami harus tetap tinggal di sini sampai petugas datang dan mengevakuasi kami,” lanjutnya. Perilaku kolektif ini, di mana warga Thailand dirikan bunker, menunjukkan tingkat kepanikan dan ketidakpercayaan mereka terhadap situasi.
Selain itu, terdapat enam bunker keselamatan resmi di sebuah kuil lokal yang warga gunakan hingga tahun 2011. Keduanya menekankan bahwa komunitas mereka berada di garis depan jika bentrokan berlanjut, karena desa mereka adalah yang terakhir sebelum perbatasan. Ketegangan yang terjadi telah berdampak signifikan pada kehidupan mereka, terutama di sektor perdagangan dan pertanian.
Dampak Ekonomi: Petani Menderita Akibat Kekhawatiran Perang
Amorn Molaraj, 49 tahun, seorang warga perbatasan, menyatakan bahwa selain musim hujan yang sedang berlangsung, ketidakpastian situasi perbatasan menghambat kemampuannya menanam tanaman yang selama ini menjadi sumber penghidupan keluarganya. “Kami ingin pejabat kami menyelesaikan masalah ini, tetapi karena kami tinggal di perbatasan, kami juga takut dampak dan kemungkinan perang,” ungkap Amorn. “Jika perang benar terjadi, bagaimana kami bisa memanen padi? Kami sudah hidup dalam kemiskinan, jadi rasa takut sangat menghantui kami.” Fenomena warga Thailand dirikan bunker hanyalah satu dari banyak dampak nyata yang mereka rasakan.
Menurut Amorn, salah satu sumber pendapatan warga, yaitu pengumpulan jamur liar, kini terhenti. Mereka takut mendekati wilayah perbatasan yang rawan konflik. Kondisi ini membuat kehidupan mereka semakin sulit, memaksa mereka mencari alternatif pendapatan atau hidup dalam ketidakpastian.
Keselamatan Anak dan Harapan untuk Masa Depan
Jitra Kumphan, direktur Sekolah Ban Dan Klang, mengatakan pihak sekolah segera menggelar diskusi setelah insiden 28 Mei. Mereka ingin melindungi 400 siswa. Sekolah menyiapkan rencana keamanan, memastikan bunker siap, dan mengadakan latihan evakuasi. Langkah ini diambil secara proaktif karena ketakutan yang sama yang membuat warga Thailand dirikan bunker. Mereka juga sudah mengajukan izin penutupan sekolah sementara kepada Kantor Komisi Pendidikan Dasar jika terjadi keadaan darurat.
Suthien Piwchan, mantan pemimpin proyek “45 Tahun Tanpa Batas” yang mempelajari hubungan masyarakat di perbatasan, menyampaikan kekhawatiran jangka panjang. Ia menegaskan tidak menginginkan perang dan mengajak semua pihak untuk hidup berdampingan serta terus berkomunikasi meskipun ada perselisihan.
Meskipun menuding ada upaya Kamboja merambah wilayah Thailand, Suthien menekankan perlunya solusi resmi dan negosiasi yang adil. “Kita harus hidup berdampingan sebagai saudara, meski tinggal di negara berbeda, karena tidak ada yang menginginkan pertikaian,” tutupnya kepada BBC.
Melihat respons cepat dari warga Thailand yang membangun bunker dan kesiapsiagaan sekolah, terlihat jelas betapa nyata ancaman perang ini bagi mereka. Mereka tidak hanya menghadapi risiko fisik, tetapi juga dampak ekonomi dan psikologis yang besar. Penting bagi pemerintah kedua negara untuk segera menemukan solusi damai dan transparan, memastikan kesejahteraan dan keamanan warganya tidak lagi terancam oleh konflik yang berlarut-larut. Inisiatif warga Thailand membangun bunker ini menjadi pengingat yang menyedihkan akan betapa pentingnya perdamaian.







