Produsen pesawat raksasa Eropa, Airbus, kini tengah menghadapi salah satu periode terberat dalam sejarahnya. Gabungan antara krisis rantai pasok, masalah kualitas produksi internal, dan cacat mesin massal. Yang memaksa ratusan pesawat modern terparkir, telah mendorong perusahaan ini ke ambang krisis reputasi dan finansial yang besar.
Pusat badai ini adalah Armada A320neo Family, tulang punggung industri penerbangan global. Yang kini terancam lumpuh akibat serangkaian masalah yang saling terkait.
Mesin GTF Cacat: Krisis Global yang Mengakar
Masalah paling akut berasal dari cacat manufaktur pada mesin Pratt & Whitney (P&W) GTF (Geared Turbofan). Salah satu opsi mesin utama untuk keluarga A320neo.
Investigasi mengungkapkan bahwa material bubuk logam yang P&W gunakan dalam produksi komponen kunci mesin—khususnya pada turbin bertekanan tinggi—mengandung mikro-retakan atau kontaminan. Cacat material ini memaksa P&W menarik ratusan mesin. Dari pesawat di seluruh dunia guna melakukan inspeksi dan perbaikan darurat yang cepat.
Krisis ini bersifat global. Analis memperkirakan, setidaknya 600 hingga 700 pesawat A320neo di seluruh dunia akan terpaksa “menganggur” (Aircraft on Ground—AOG). Selama periode dua hingga tiga tahun ke depan. Jadwal perawatan yang berantakan, pembatalan ribuan penerbangan, dan kekurangan kapasitas armada yang parah kini memusingkan maskapai-maskapai besar, termasuk di Asia dan Eropa.
Kerugian Finansial dan Tuntutan Kompensasi
Dampak finansial dari krisis ini sangatlah masif. Meskipun P&W bertanggung jawab langsung atas mesinnya, Airbus sebagai produsen pesawat menghadapi tekanan kompensasi yang signifikan dari para pelanggan. Maskapai menuntut ganti rugi miliaran dolar atas kerugian pendapatan yang timbul akibat pesawat yang tidak dapat diterbangkan.
Di sisi lain, cacat mesin ini juga memperburuk masalah utama Airbus lainnya: keterlambatan pengiriman pesawat baru. Airbus sudah berjuang keras memenuhi target produksi yang ambisius, tetapi masalah suplai mesin ini menjadi hambatan terbesar. Kegagalan memenuhi janji pengiriman (yang kini menumpuk hingga ribuan unit) berisiko mengenakan denda kontrak yang jauh lebih besar.
Kualitas Produksi Internal Dipertanyakan
Seolah belum cukup, Airbus juga menghadapi peningkatan pengawasan terhadap kualitas manufaktur internalnya. Beberapa laporan menyoroti insiden di fasilitas perakitan akhir Airbus. Di mana para inspektur menemukan adanya cacat struktural kecil pada beberapa bagian pesawat.
Insiden ini mencakup masalah pengeboran yang tidak tepat pada bagian sayap, penggunaan bracket yang salah, hingga adanya benda asing yang tertinggal di dalam badan pesawat. Meskipun Airbus menyatakan bahwa mereka segera memperbaiki masalah ini sebelum mereka menyerahkan pesawat, insiden berulang ini menimbulkan kekhawatiran serius bahwa tekanan untuk mencapai target produksi (memproduksi hingga 75 pesawat A320neo per bulan) telah mengorbankan standar kualitas.
Di Persimpangan Jalan: Reputasi dan Kepercayaan
Analis penerbangan menilai Airbus kini berada di persimpangan jalan. Krisis mesin GTF, meskipun secara teknis merupakan kesalahan pemasok (P&W), menempatkan Airbus pada posisi yang sangat rentan karena mereka adalah penjual produk akhir. Jika masalah kualitas internal berlanjut, apalagi dengan gangguan yang mesin timbulkan, kedua masalah ini dapat mengikis kepercayaan maskapai terhadap stabilitas dan keandalan produk Airbus secara mendalam.
Baca Juga : Merger Grab-GoTo: Apa Kata CEO BPI Danantara?
Airbus harus segera menunjukkan kepemimpinan tegas, tidak hanya dalam menjamin kompensasi yang adil, tetapi juga dengan melakukan audit menyeluruh terhadap proses produksi dan rantai pasokannya. Kegagalan dalam mengatasi dualitas masalah—kualitas internal dan cacat pemasok—dapat membuat Airbus kehilangan momentum keunggulannya di pasar global dan memberikan peluang besar bagi pesaing utamanya, Boeing, untuk kembali merebut pasar.
