Kisah Mahasiswa Indonesia di Iran: Kampus Sempat Ditutup Akibat Gejolak Perang

oleh
Iran

NusaSuara – Meski ketegangan geopolitik melanda Timur Tengah, ribuan mahasiswa, termasuk ratusan dari Indonesia, terus menjalani kehidupan di Iran. Namun, ada kalanya realitas konflik mendekat begitu rupa, mengusik rutinitas akademik dan menguji ketabahan para perantau. Salah satu kisah yang mencerminkan dinamika ini datang dari sejumlah mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Iran, di mana kampus mereka sempat ditutup sementara waktu sebagai respons terhadap eskalasi militer yang mengancam stabilitas kawasan.

Indonesia memiliki ikatan historis dan kultural yang kuat dengan Iran, menjadikan negara tersebut destinasi populer bagi mahasiswa yang ingin mendalami studi keagamaan, filsafat Islam, atau ilmu pengetahuan umum dengan perspektif yang berbeda. Kota-kota seperti Qom, Teheran, dan Isfahan menjadi rumah bagi komunitas mahasiswa Indonesia yang vibran. Mereka datang dengan berbagai motivasi, mulai dari mencari ilmu hingga merasakan langsung peradaban Persia yang kaya. Mereka tergabung dalam berbagai organisasi kemahasiswaan, saling menguatkan, dan berbagi suka duka di tanah rantau.

Baca Juga : Gus Ipul pastikan rencana sekolah rakyat matang setelah instruksi langsung dari Prabowo

“Awalnya saya tidak membayangkan akan menghadapi situasi seperti ini,” ujar Fatih (bukan nama sebenarnya), seorang mahasiswa pascasarjana di sebuah universitas terkemuka di Teheran, mengawali ceritanya. Fatih, yang sudah tiga tahun menimba ilmu di Iran, tiba dengan harapan bisa fokus pada penelitian dan tugas-tugas kuliahnya yang cukup berat. Namun, beberapa bulan lalu, ketegangan di kawasan Teluk meningkat tajam, dipicu oleh insiden-insiden yang memicu kekhawatiran global. Suasana kecemasan itu terasa hingga ke ibukota, memengaruhi atmosfer kota yang biasanya dinamis.

Penyesuaian di Masa Sulit

Ketegangan ini mencapai puncaknya ketika kabar mengenai serangan balasan dan ancaman militer semakin santer terdengar melalui berbagai kanal berita, baik lokal maupun internasional. Pagi itu, notifikasi resmi dari pihak universitas masuk ke grup WhatsApp mahasiswa. Isi pengumuman singkat namun tegas: seluruh perkuliahan tatap muka dihentikan sementara dan kampus ditutup hingga batas waktu yang belum ditentukan demi keamanan civitas akademika.

“Jujur, ada rasa panik yang menjalar. Bukan hanya saya, tapi teman-teman lain juga,” kenang Fatih, mengingat kembali momen itu. “Beberapa dari kami langsung teringat berita-berita di tanah air tentang imbauan untuk waspada, bahkan kemungkinan evakuasi. Orang tua di Indonesia langsung menghubungi kami, dengan nada suara penuh kekhawatiran, menanyakan kabar dan kondisi kami.” Kecemasan tidak hanya datang dari luar, tapi juga merayap di benak masing-masing.

Penutupan kampus bukan hanya sekadar libur dadakan; melainkan juga simbol nyata bahwa situasi keamanan sedang tidak baik-baik saja. Area sekitar universitas yang biasanya ramai dengan hiruk-pikuk mahasiswa, mendadak sepi. Kafe-kafe tempat diskusi dan toko buku di sekitar kampus tutup lebih awal, dan transportasi umum terasa lebih lengang, menyisakan pemandangan yang tak biasa bagi para perantau.

Adaptasi dan Solidaritas di Masa Sulit

Di tengah ketidakpastian, para mahasiswa Indonesia, yang mayoritas tinggal di asrama atau apartemen di luar kampus, segera berkoordinasi. “Nurul, mahasiswi filsafat tingkat akhir, menyebutkan bahwa mereka sering berkumpul, berbagi informasi, dan saling menguatkan. KBRI Teheran juga cepat merespons, menghubungi mereka lewat grup komunikasi, memberikan arahan, menggelar pertemuan virtual, dan memastikan kondisi mereka aman serta kebutuhan dasar tercukupi.”

Selama periode penutupan, kegiatan perkuliahan beralih sepenuhnya ke daring. Tantangan muncul akibat perbedaan zona waktu antara Indonesia dan Iran, ditambah kendala akses internet yang tidak selalu stabil. Namun, semangat belajar para mahasiswa tak luntur. Mereka cepat beradaptasi, mengikuti perkuliahan virtual hingga larut malam atau dini hari sesuai jadwal dosen, berdiskusi online, dan menyelesaikan tugas akademik dengan penuh tanggung jawab.

“Ini pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan,” kata Fatih, menarik napas dalam, meresapi setiap memori. “Kami melihat langsung bagaimana sebuah negara bereaksi terhadap ancaman besar, bagaimana masyarakatnya menghadapi ketidakpastian. Ada rasa bangga juga melihat solidaritas luar biasa antar mahasiswa Indonesia di sini. Kami saling membantu, mulai dari membeli kebutuhan pokok hingga memberikan dukungan emosional.”

Kembali ke Kampus dengan Semangat Baru

Setelah beberapa hari yang terasa panjang dan penuh ketidakpastian, kabar baik akhirnya datang. KBRI Teheran menginformasikan bahwa situasi mulai kondusif, ketegangan mereda, dan universitas segera mengumumkan pembukaan kampus secara bertahap. Rasa lega meliputi komunitas mahasiswa. Mereka kembali ke kelas dengan semangat baru, membawa pengalaman unik yang membentuk cara pandang mereka terhadap kehidupan, studi, dan pentingnya persatuan.

Kisah Fatih dan Nurul hanyalah secuil dari banyak cerita mahasiswa Indonesia di Iran yang menghadapi realitas geopolitik. Pengalaman mereka membuktikan bahwa di tengah ketidakpastian global, semangat belajar, adaptasi, dan ketahanan diri dapat mengatasi tantangan. Ini juga mengingatkan kita akan pentingnya diplomasi dan dukungan komunitas dalam menjaga keselamatan warga negara di luar negeri. Kini, mereka membawa pelajaran tentang resiliensi, solidaritas, dan persaudaraan, menjadikan mereka lebih tangguh dan berempati.