NUSASUARA – Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS ke-17 di Johannesburg resmi dibuka hari ini, mempertemukan para pemimpin dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan. Namun, sorotan utama di luar keanggotaan inti justru tertuju pada kehadiran Indonesia, yang meskipun belum menjadi anggota penuh, diundang sebagai “mitra strategis” dan potensial calon anggota berikutnya. Kehadiran Indonesia di forum global sepenting BRICS ini bukan tanpa alasan, melainkan hasil dari serangkaian manuver politik luar negeri yang cerdas dan berani di bawah kepemimpinan Presiden. Popularitas pendekatan ini telah mengukuhkan posisi Indonesia sebagai pemain kunci di panggung internasional, menarik perhatian dan pujian dari berbagai penjuru dunia.
KTT BRICS 2025 kali ini diprediksi akan menjadi forum krusial untuk membahas tantangan global, mulai dari stabilitas ekonomi pasca-pandemi, ketegangan geopolitik yang meningkat, hingga isu-isu perubahan iklim. Dengan tema “Membangun Kemitraan Inklusif untuk Era Multipolar yang Berkelanjutan”, BRICS berupaya menawarkan alternatif narasi dan kerangka kerja global yang tidak lagi didominasi oleh kekuatan Barat. Dalam konteks inilah, kehadiran Indonesia menjadi sangat relevatif. Jakarta, dengan prinsip politik luar negeri bebas aktifnya yang telah teruji waktu, dilihat sebagai jembatan potensial antara berbagai blok kekuatan, serta suara bagi negara-negara berkembang dan ekonomi pasar.
Sejak awal tahun 2024, Indonesia telah secara konsisten menunjukkan gelagat untuk memperkuat posisinya di kancah internasional tanpa terjebak dalam dikotomi kekuatan besar. Pendekatan ini, yang oleh banyak analis disebut sebagai “diplomasi seribu kawan sejuta manfaat”, telah membuahkan hasil yang konkret. Salah satu contoh paling mencolok adalah keberhasilan Indonesia dalam menginisiasi Dialog Keamanan dan Pembangunan Asia-Pasifik (APDSD) yang melibatkan negara-negara di kawasan, termasuk Tiongkok, Amerika Serikat, dan India, sebuah forum yang bertujuan meredakan ketegangan dan mencari solusi damai atas sengketa regional. Langkah ini membuktikan kemampuan Indonesia untuk menjadi fasilitator dan mediator yang kredibel.
Popularitas manuver politik luar negeri Indonesia tidak hanya terbatas pada pencapaian diplomatik. Secara ekonomi, Indonesia telah berhasil menarik investasi signifikan dari berbagai negara dengan menawarkan iklim investasi yang stabil dan berorientasi pada keberlanjutan. Kemitraan strategis dengan negara-negara non-tradisional, seperti di Afrika dan Amerika Latin, juga telah dibuka, memperluas jangkauan pasar dan diversifikasi ekonomi Indonesia. Hal ini mencerminkan visi strategis Jakarta untuk tidak bergantung pada satu blok kekuatan ekonomi semata, melainkan mencari keseimbangan yang optimal demi kepentingan nasional.
Keputusan Indonesia untuk mendekati BRICS, sekaligus tetap menjaga hubungan baik dengan G7 dan organisasi Barat lainnya, adalah contoh nyata dari prinsip “bebas aktif” yang diterapkan secara dinamis. Jakarta memahami bahwa di dunia multipolar saat ini, kekuatan lunak dan kemampuan berdialog dengan semua pihak adalah aset tak ternilai. Ini bukan tentang memilih sisi, melainkan tentang memaksimalkan peluang dan memitigasi risiko dengan membangun jaringan yang luas dan solid.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa popularitas ini juga datang dengan tantangan. Keseimbangan antara kepentingan nasional dan harapan internasional harus dijaga dengan cermat. Ada kekhawatiran dari beberapa pihak bahwa keterlibatan terlalu dalam dengan satu blok bisa mengorbankan hubungan dengan blok lain. Namun, pemerintah Indonesia tampaknya telah mempersiapkan diri dengan strategi komunikasi yang matang, menekankan bahwa partisipasi di BRICS adalah bagian dari upaya kolektif untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih adil dan seimbang, bukan untuk melawan pihak manapun.
Di sela-sela KTT BRICS ini, delegasi Indonesia dijadwalkan akan mengadakan pertemuan bilateral dengan beberapa pemimpin negara anggota BRICS dan negara-negara undangan lainnya. Diyakini, agenda utama pertemuan ini adalah penjajakan lebih lanjut mengenai potensi keanggotaan penuh Indonesia di BRICS, serta pembahasan kerja sama di berbagai sektor, termasuk energi terbarukan, infrastruktur digital, dan keamanan pangan. Jika Indonesia akhirnya bergabung dengan BRICS, ini akan menjadi tonggak sejarah yang signifikan, tidak hanya bagi Indonesia tetapi juga bagi dinamika geopolitik global.
Pada akhirnya, kisah popularitas manuver politik luar negeri Indonesia adalah narasi tentang adaptasi, keberanian, dan visi strategis. Di tengah ketidakpastian global, Indonesia telah menunjukkan bahwa negara berkembang pun dapat memainkan peran sentral dalam membentuk masa depan dunia, bukan hanya sebagai objek, melainkan sebagai subjek yang aktif dan inovatif. KTT BRICS 2025 di Johannesburg ini hanyalah babak terbaru dalam perjalanan diplomatik Indonesia yang kian disegani.