Nur Ahmad, Santri yang Kehilangan Tangan Demi Selamat dari Reruntuhan Ponpes

oleh
kisah kelam Nur Ahmad harus kehilangan tangan agar bisa selamat dari runtuhan beton

NusaSuara — Tak pernah terlintas di benak Nur Ahmad bahwa rakaat kedua salat Asar yang ia lakukan di musala Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, pada Senin (29/9) sore, akan mengubah hidupnya selamanya.

Ahmad, santri berusia 16 tahun itu, tengah khusyuk dalam rukuk ketika atap bangunan tiba-tiba runtuh. Suara gemuruh memecah keheningan. Seketika pandangannya gelap — tubuhnya di hantam reruntuhan beton, dan tangannya terjepit tanpa ampun.

Teriakan di Tengah Rasa Sakit dan Ketidakpastian

Nur Ahmad tak bisa bergerak. Dalam posisi tiarap, ia hanya bisa menyaksikan teman-temannya berlarian menyelamatkan diri. Sementara itu, beton berton-ton menekan tangan kirinya hingga nyaris remuk.

“Langsung jatuh betonnya pas rukuk rakaat kedua… Enggak bisa gerak. Langsung kena tangan,” kata Ahmad saat di temui ruang perawatan RSUD RT Notopuro Sidoarjo, Jumat (3/10).

Ia tidak tahu apakah ada yang mendengarnya. Ia terus berteriak minta tolong, berharap keajaiban datang. Dan akhirnya, suara petugas evakuasi membalas teriakannya. Harapannya menyala kembali.

Keputusan Sulit: Menyelamatkan Nyawa atau Tangan

Petugas medis datang, namun posisi Nur Ahmad sangat sulit di jangkau. Saat itu, dokter Larona Hydravianto, spesialis ortopedi dan traumatologi dari RSUD RT Notopuro, menghadapi dilema besar. Beton yang menindih Ahmad tak bisa di angkat tanpa tindakan ekstrem.

“Dalam situasi seperti ini, prinsip utama kami adalah menyelamatkan nyawa. Itu prioritas nomor satu,” jelas dokter Larona.

Setelah berdiskusi cepat dengan tim medis dan menjelaskan situasinya pada Ahmad, keputusan sulit pun di ambil: tangan kiri Ahmad harus di amputasi di lokasi demi menyelamatkan hidupnya.

Baca Juga: Mendikdasmen Ubah Citra BK: Guru BK Kini Wajib Jadi Pendamping dan Pendorong Prestasi Murid

Amputasi Darurat di Bawah Reruntuhan

Dengan peralatan seadanya dan penerangan minim, tim medis melakukan amputasi langsung di bawah puing-puing bangunan. Ahmad di bius dan di minta tetap tenang.

“Yang penting tenang. Kata dokter harus tenang,” ujar Nur Ahmad mengingat kembali momen mencekam itu.

Setelah amputasi berhasil, Ahmad akhirnya berhasil di keluarkan dari reruntuhan dan di bawa ke RSUD RT Notopuro untuk menjalani perawatan lanjutan.

Respons Keluarga dan Prosedur Medis Lanjutan

Direktur Utama RSUD RT Notopuro, dr. Atok Irawan, menjelaskan bahwa amputasi darurat terpaksa di lakukan karena kondisi sangat kritis. Meski sempat muncul keberatan dari pihak keluarga, mereka akhirnya bisa menerima kenyataan setelah di jelaskan urgensi situasinya.

“Alhamdulillah keluarga bisa menerima. Situasinya sempit dan sangat membahayakan, bahkan bagi tenaga medis kami,” ungkap Atok.

Setelah proses evakuasi, luka Nur Ahmad kembali di bersihkan, di jahit ulang, dan ia menerima perawatan intensif hingga pukul 01.30 WIB.

Harapan Baru Meski Tak Lagi Sama

Meskipun kehilangan tangan kiri, Ahmad bersyukur masih di beri kesempatan hidup. Ia harus memulai lembaran baru sebagai seorang penyintas — tidak lagi utuh secara fisik, tetapi dengan semangat yang tetap utuh.

No More Posts Available.

No more pages to load.