Peledakan di SMA 72 Jakarta: Fakta Baru Terungkap

oleh
Peledakan di SMA 72 Jakarta: Fakta Baru Terungkap

NusaSuara – Polisi mengungkap fakta baru di balik insiden peledakan di SMA 72 Jakarta. Tersangka di ketahui menuliskan sejumlah nama pelaku kekerasan dunia pada senjata mainan yang di bawanya saat kejadian, Jumat lalu.

Enam nama tersebut berasal dari pelaku penembakan massal di berbagai negara, yang di kenal karena aksi ekstrem dan ideologi kebencian. Nama-nama yang di temukan antara lain Eric Harris, Dylan Klebold, Dylan Storm Roof, Alexandre Bissonnette, Vladislav Roslyakov, dan Brenton Tarrant.

Deretan Nama yang Jadi Inspirasi Pelaku

Eric Harris dan Dylan Klebold adalah pelaku tragedi Columbine High School Massacre di Amerika Serikat pada 20 April 1999. Keduanya di kenal menganut ideologi neo-Nazi.

Sementara itu, Dylan Storm Roof menjadi pelaku penembakan massal di Gereja Charleston pada Juni 2015. Ia di ketahui sebagai penganut supremasi kulit putih atau white supremacy.

Nama Alexandre Bissonnette juga muncul. Ia merupakan pelaku penembakan di Masjid Quebec, Kanada, pada 2017, dengan latar belakang ideologi serupa.

Kemudian ada Vladislav Roslyakov, pelaku penyerangan di Politeknik Kerch, Rusia, tahun 2018, yang juga berhaluan neo-Nazi.

Terakhir, Brenton Tarrant, pelaku serangan di Masjid Christchurch, Selandia Baru, tahun 2019, di kenal menganut paham etnonasionalis ekstrem.

Pelaku Di duga Terobsesi dengan Aksi Kekerasan

Juru Bicara Densus 88 Antiteror Polri, AKBP Mayndra Eka Wardhana, menjelaskan bahwa tersangka mempelajari aksi keenam pelaku tersebut dan meniru beberapa gaya serta simbol mereka.

“Pelaku hanya terinspirasi. Ia meniru pose dan simbol dari para pelaku kekerasan itu, tapi tidak menganut satu ideologi tertentu secara konsisten,” ujar Mayndra dalam konferensi pers, Selasa (11/11).

Menurutnya, hasil penyelidikan menunjukkan pelaku peledakan di SMA 72 Jakarta sering mengunggah konten yang meniru aksi kekerasan di komunitas media sosial. Pola tersebut menjadi peringatan dini bagi masyarakat terhadap meningkatnya kekerasan digital (online violence) yang berpotensi menginspirasi tindakan serupa di dunia nyata.

Baca Juga: PM Jepang Disambut Hangat Para Pemimpin ASEAN di KTT 2025

Motivasi Pribadi dan Rasa Tertekan

Mayndra menambahkan, tersangka mulai mencari informasi tentang aksi kekerasan karena merasa tertindas dan kesepian. Ia juga menyimpan dendam pribadi terhadap perlakuan orang-orang di sekitarnya.

“Pelaku merasa tidak punya tempat untuk bercerita, sehingga mencari pelampiasan lewat konten-konten kekerasan di internet,” jelasnya.

Hasil penelusuran menunjukkan, pelaku peledakan di SMA 72 Jakarta mengunjungi situs dan forum daring yang mengagungkan kekerasan. Komunitas tersebut bahkan sering mengapresiasi tindakan brutal sebagai sesuatu yang “heroik”.

“Motivasi lain muncul ketika ia melihat pelaku lain mendapat pujian setelah mengunggah aksi kekerasan di media sosial. Hal ini membuatnya ingin melakukan hal serupa,” tambah Mayndra.

Pentingnya Edukasi Digital dan Deteksi Dini

Kasus ini menunjukkan pentingnya literasi digital dan pengawasan dunia maya, terutama di kalangan remaja. Konten ekstrem dan glorifikasi kekerasan di internet dapat memicu imitasi, terutama pada individu yang sedang mengalami tekanan psikologis atau sosial.

Polri mengimbau masyarakat untuk lebih waspada terhadap konten berbahaya serta aktif melaporkan aktivitas mencurigakan di platform daring.

No More Posts Available.

No more pages to load.