Di era digital yang serba cepat dan penuh tekanan sosial, fenomena baru Curhat ke AI muncul di kalangan remaja: mereka mulai merasa lebih nyaman membuka perasaan dan rahasia terdalam bukan kepada teman atau keluarga, melainkan kepada kecerdasan buatan. Curhat ke AI kini menjadi kebiasaan baru bagi sebagian remaja, dan para psikolog mulai mencermati tren ini dengan serius.
Fenomena yang Meningkat Diam-Diam
Fenomena ini tidak lagi terjadi di ruang kecil atau terbatas. Dari aplikasi chatbot berbasis AI seperti Replika, ChatGPT, hingga fitur obrolan otomatis di berbagai platform kesehatan mental, banyak remaja yang memilih teknologi sebagai tempat bercerita. Mereka tidak hanya bertanya soal pelajaran atau informasi, tapi juga mencurahkan perasaan tentang cinta, keluarga, tekanan sekolah, hingga kecemasan masa depan.
Dalam sebuah survei kecil di media sosial oleh sebuah lembaga nonformal, lebih dari 60% responden usia 13–19 tahun mengaku pernah curhat ke AI atau chatbot. Alasan utamanya: AI tidak menghakimi, tidak menyebarkan cerita mereka, dan selalu tersedia kapan saja.
Pendapat Psikolog: Refleksi dari Rasa Tidak Aman
Psikolog klinis anak dan remaja, dr. Nina Wulandari, M.Psi., menyebut fenomena ini sebagai cermin dari perubahan hubungan sosial dan kebutuhan akan kenyamanan emosional yang instan.
“Remaja zaman sekarang hidup dalam tekanan sosial yang jauh lebih besar dibanding generasi sebelumnya. Ketika merasa orang tua sibuk, teman-teman terlalu menuntut, atau takut dihakimi, mereka mencari pelarian yang terasa aman dan netral. Di sinilah AI menawarkan ruang yang tidak mengancam,” ujar Nina.
Menurutnya, AI bisa menjadi “cermin diam” yang membiarkan remaja memproses pikiran mereka sendiri. Meski begitu, Nina menegaskan, AI bukanlah pengganti hubungan manusia yang sehat.
Alasan Remaja Memilih AI untuk Curhat
Ada beberapa alasan kuat mengapa remaja merasa lebih nyaman curhat ke AI daripada kepada orang di sekitarnya:
-
Privasi
Mereka percaya bahwa dengan curhat ke AI, maka tidak akan menyebarkan cerita mereka. Tidak ada risiko gosip, pengkhianatan, atau “drama” sosial. -
Selalu Tersedia
AI tidak tidur. Remaja bisa menulis jam 2 pagi saat gelisah, dan tetap mendapat respons. -
Tidak Menghakimi
Saat bercerita ke manusia, mereka bisa mengkritik kita atau menganggap kita lemah. AI memberikan jawaban netral, bahkan seringkali menyemangati. -
Bebas Ekspresi
Banyak remaja merasa lebih mudah menulis daripada bicara langsung. Curhat lewat teks ke AI terasa lebih ringan. -
Respons Cepat dan Informatif
Dalam beberapa kasus, AI memberikan panduan atau informasi yang cukup membantu, misalnya soal mengelola stres atau teknik pernapasan untuk cemas.
Baca juga : OpenAI Akan Rilis Browser Berbasis AI, Siap Saingi Chrome
Dampak Negatif dan Batasan yang Harus Disadari
Meski terkesan positif dan aman, psikolog mengingatkan bahwa terlalu bergantung pada AI untuk curhat juga membawa dampak negatif:
-
Kehilangan Interaksi Sosial Nyata
Terlalu sering curhat ke AI bisa membuat remaja menarik diri dari interaksi manusia. Mereka menjadi tidak terbiasa menghadapi konflik atau menerima kritik secara langsung. -
Kualitas Jawaban yang Tidak Personal
AI tidak bisa sepenuhnya memahami konteks emosional, budaya, atau dinamika hubungan pribadi. Jawaban yang diberikan bisa terasa umum, bahkan keliru dalam konteks tertentu. -
Risiko Keamanan Data
Tidak semua platform AI menjamin kerahasiaan data pengguna. Jika tidak hati-hati, orang lain bisa membocorkan curhatan Anda atau menggunakannya untuk tujuan komersial. -
Ilusi Kedekatan Emosional
Beberapa remaja bisa mengembangkan ikatan emosional yang tidak sehat terhadap AI, menganggapnya seperti sahabat sejati, padahal AI tidak memiliki perasaan.
Psikolog Nina menegaskan bahwa peran manusia tetap penting. “Kita tetap butuh pendengar sejati yang bisa merespon dengan empati, sentuhan, dan koneksi emosional yang nyata,” jelasnya.
Harus Diimbangi, Bukan Diandalkan Sepenuhnya
Kita seharusnya tidak langsung melihat fenomena curhat ke AI sebagai hal negatif. Dalam beberapa kasus, AI bisa menjadi titik awal yang aman untuk memulai proses pemulihan emosional. Namun, penting bagi remaja dan orang tua untuk menyadari batasannya.
Kita perlu menanamkan pendidikan digital tentang etika penggunaan AI dan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya relasi manusia sejak dini. Jika AI menjadi teman curhat, pastikan ia bukan satu-satunya.
“AI bisa jadi pintu, tapi bukan ruangan utamanya,” tutup Nina.






