Thailand sering kali menjadi sorotan dunia bukan hanya karena keindahan alamnya dan keramahan penduduknya, tetapi juga karena Kudeta Thailand yang sering terjadi. Sejak monarki absolut berakhir pada 1932, negara ini telah menyaksikan belasan upaya pengambilalihan kekuasaan secara paksa, menjadikannya salah satu negara dengan catatan kudeta militer tertinggi di dunia. Fenomena ini bukan sekadar pergantian pemerintahan; kudeta Thailand mencerminkan konflik mendalam dalam masyarakat, terutama antara kubu pro-demokrasi dan pro-kerajaan.
Akar Masalah: Benturan Ideologi dan Kekuasaan
Salah satu faktor utama yang mendorong kudeta Thailand adalah peran militer dalam politik. Militer Thailand secara historis menganggap diri mereka sebagai pelindung monarki dan penjaga stabilitas nasional. Mereka sering campur tangan ketika menilai pemerintah sipil tidak stabil, korup, atau mengancam institusi kerajaan. Selama puluhan tahun, militer menanamkan doktrin ini, sehingga budaya politik terbentuk di mana mereka sering menganggap kudeta sebagai ‘solusi’ terakhir untuk krisis.
Selain itu, konflik antara dua kubu politik semakin memperumit situasi:
-
Kubu Pro-Demokrasi: Kelompok ini terdiri dari partai politik yang populer di kalangan rakyat pedesaan dan kelas pekerja, seperti Thai Rak Thai dan Pheu Thai Party yang berafiliasi dengan Thaksin Shinawatra. Mereka menuntut reformasi politik, kesetaraan sosial, dan pemerintahan yang lebih responsif terhadap kehendak rakyat. Kubu ini mendukung demokrasi kuat dengan kontrol sipil atas militer.
-
Kubu Pro-Kerajaan/Konservatif: Kubu ini mencakup elit tradisional, birokrat, pengusaha besar, dan militer. Mereka menghormati monarki dan memandang kritik terhadapnya sebagai ancaman serius. Kelompok ini menekankan stabilitas, hierarki, dan tatanan sosial yang ada, serta menganggap demokrasi ala Barat yang terlalu liberal bisa merusak nilai-nilai tradisional dan posisi monarki.
Kesenjangan ekonomi dan sosial antara perkotaan dan pedesaan, serta antara elit dan rakyat jelata, sering memperparah konflik ini. Perdana Menteri populer seperti Thaksin Shinawatra, melalui kebijakan populis, berhasil menarik dukungan luas dari pedesaan, namun memicu kekhawatiran elit konservatif yang merasa kekuasaan mereka terancam.
Sejarah Kudeta Thailand dan Dampaknya
Sejak 1932, Thailand telah mengalami setidaknya 13 kudeta Thailand yang berhasil, di samping banyak upaya kudeta gagal. Setiap kudeta muncul dari konteks unik, tetapi hampir selalu melibatkan perselisihan antara kekuatan militer dan pemerintah sipil terpilih:
-
Kudeta 1932: Mengakhiri monarki absolut dan memulai era monarki konstitusional. Kudeta ini menjadi preseden bagi intervensi militer di masa depan.
-
Kudeta Pasca-Perang Dunia II: Serangkaian kudeta dan kontra-kudeta mencerminkan persaingan antara faksi-faksi militer yang berbeda.
-
Kudeta 1970-an: Kudeta sering terjadi di tengah demonstrasi mahasiswa dan kekerasan politik, termasuk pembantaian mahasiswa Universitas Thammasat pada 1976.
-
Kudeta 1991: Mengakhiri pemerintahan Chatichai Choonhavan dengan alasan korupsi. Kudeta ini mengarah pada konstitusi baru dan pemilihan umum pada 1992.
-
Kudeta 2006: Kudeta ini menggulingkan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra. Militer beralasan tindakan itu diperlukan untuk menghentikan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Protes jalanan oleh kelompok “Kaos Kuning” mendukung kudeta ini.
-
Kudeta 2014: Menggulingkan pemerintahan Yingluck Shinawatra setelah berbulan-bulan demonstrasi anti-pemerintah. Jenderal Prayut Chan-o-cha memimpin kudeta ini dan membentuk junta militer yang memerintah lima tahun, menjadikannya kudeta Thailand yang paling lama berkuasa dalam sejarah modern.
Masalah utama dari semua kudeta Thailand adalah siklus ketidakstabilan. Meskipun kudeta diklaim untuk mengembalikan ketertiban, kenyataannya mereka sering menimbulkan konflik baru. Kudeta mengikis institusi demokrasi, membatasi kebebasan sipil, dan memperdalam perpecahan antara kubu yang bersaing. Dengan kata lain, kudeta Thailand lebih sering menunda dan memperparah masalah politik daripada menyelesaikannya.
Thailand: Negara dengan Kudeta Terbanyak
Thailand secara konsisten menempati posisi teratas sebagai negara dengan kudeta Thailand terbanyak di dunia, bersaing dengan beberapa negara di Afrika dan Amerika Latin. Tingginya frekuensi kudeta menunjukkan kelemahan institusi demokrasi Thailand dan dominasi militer dalam menentukan arah politik negara.
Detik-Detik Krisis Politik
Polanya sering serupa: kelompok Kaos Merah (pro-pemerintah) atau Kaos Kuning (pro-kerajaan) kadang-kadang mendukung unjuk rasa besar di jalanan. Demonstrasi ini bisa berlangsung berbulan-bulan, melumpuhkan ibu kota dan merugikan ekonomi. Publik sering menuding pemerintah korup atau gagal mengendalikan situasi.
Militer kemudian mengeluarkan peringatan atau pernyataan tentang perlunya stabilitas. Mereka menangguhkan konstitusi, membubarkan parlemen, dan memberlakukan jam malam. Militer biasanya mengumumkan Kudeta Thailand melalui televisi atau radio, sambil menurunkan tank dan pasukan ke jalan utama Bangkok. Sebagian besar kudeta berlangsung tanpa pertumpahan darah signifikan karena militer telah lama membangun pengaruh dan kontrol.
Baca juga : Akhiri Ketegangan, Thailand dan Kamboja Tarik Pasukan dari Perbatasan
Persepsi Warga terhadap Kudeta
Sayangnya, sebagian warga Thailand mulai menganggap kudeta sebagai hal biasa. Setelah bertahun-tahun mengalami pergantian kekuasaan paksa, kemarahan publik terhadap kudeta Thailand cenderung berkurang. Banyak yang melihat kudeta sebagai bagian dari siklus politik yang tak terhindarkan.
Meski demikian, kelompok pro-demokrasi tetap vokal menentang kudeta dan berjuang untuk demokrasi sejati. Namun, dominasi militer dan undang-undang ketat, termasuk lese majeste yang melindungi monarki, sering membatasi ruang perlawanan sipil. Bagi sebagian orang, “stabilitas” yang ditawarkan kudeta—meskipun sementara—lebih diterima daripada kekacauan politik berkepanjangan.
Pertarungan Pro-Demokrasi vs. Pro-Kerajaan
Inti dari semua kudeta Thailand adalah pertarungan antara kubu pro-demokrasi dan pro-kerajaan. Kubu pro-demokrasi menuntut kekuasaan rakyat melalui pemilihan umum bebas, reformasi kelembagaan, dan pengurangan pengaruh militer. Mereka menghormati monarki, tetapi menekankan bahwa kekuasaan politik harus berada di tangan rakyat.
Sebaliknya, kubu pro-kerajaan menilai stabilitas dan identitas nasional bergantung pada peran sentral monarki dan hierarki tradisional. Mereka melihat gerakan pro-demokrasi sebagai ancaman terhadap tatanan yang dianggap benar. Tuduhan anti-monarki sering muncul meski sebagian kelompok pro-demokrasi menegaskan kesetiaan mereka kepada raja.
Sepanjang hampir satu abad, kedua kubu bersaing memperebutkan kendali narasi, kekuasaan, dan masa depan Thailand. Kudeta Thailand sering menjadi manifestasi dari ketidakmampuan mereka mencapai kompromi politik, atau keinginan salah satu kubu untuk memaksakan kehendaknya. Selama perpecahan ideologis tetap ada, dan militer tetap menjadi kekuatan kuat yang arbitrer, kudeta Thailand kemungkinan besar akan terus menjadi bagian rutin dalam politik negeri Gajah Putih.
